Kamis, 02 Desember 2010

Reorientasi Sistem HKI untuk keadilan Pertanian Indonesia *

Kasihan sekali bapak tukirin dan teman-teman, petani kecil asal kediri pada 2005 lalu yang melakukan inovasi untuk memilih dan memilah indukan jagung Hibrida kemudian memproduksi dan mengedarkannya dikalangan petani (sekitar). kemudian ditangkap polisi, diadili, dan dihukum 6 bulan karena didakwa melanggar UU 12 / 1992 pasal 14 dan 61.

Bapak tukirin dalam ilustrasi diatas merupakan fenomena dalam masyarakat keseharian. Saat petani kecil ingin membantu petani lainnya dalam pendayagunaan hak atas pertanian. Lalu bagaiman ceritera tersebut berawal?

Pembangunan Pertanian di Indonesia segaimana terjadi di seluruh belahan dunia merupakn upaya untuk menjaga ketahanan pangan (food security). Dalam bahasa yang lebih sederhana, urusan pertanian menjadi urusan perut, sebagai kebutuhan primer. Akses pangan pada setiap waktu memungkinan pangan dapat diakses dimanapun produksi. Ketersediaan pangan yang berbeda di beberapa negara menjadikan perdagangan internasional menjadi satu keniscayaan. Adanya perdagangan Internasional tersebut memungkinkan adanya praktek liberalisasi. Tengok saja sejarah bagaimana terbentuknya WTO, Organisasi perdagangan dunia melalui perjanjian yang disebut putaran uruguay (1986).

Urusan pangan menjadi elemen penting dalam produksi dan pertukaran komoditas pertanian dunia. Lalu dari sana muncullah kesepakatan pertanian (AoA) yang berisi tentang penurunan dukungan negara terhadap  sektor pertanian, peningkatan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor. Salah satu perjanjian tersebut adalah the Agreement on Trade-related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPS) yang menjadikan komoditasa pertanian dapat memungkinkan mendapatkan perlakuan atau perlindngan istimewa berupa hak paten.

Pada tahun 1960an negara-negara berkembang dunia seperti Indonesia merupakan pemain utama dalam eksportir produk pertanian. Namun menjelang tahun 1980-1990 bergeser menjadi importir. Bahkan sekitar 70% negara berkembang tergantung impor pangan, sementara negara besar menjadi penguasa produksi dan perdagangan dunia. Dalam data FAO yang dikeluarkan pada tahun 2008 lalu. indonesia tercatat menjadi negara pengimpor produk pangan kedua terbanyak setelah Mesir dengan nilai mencapai impor mencapai 7,72 juta ton pertahun. Kemudian disusun maroko, filipina, dan irak masing-masing di posisi tiga hingga lima. 

Kembali soal TRIPS dalam WTO tersebut menyebutkan sebagian besar negara berkewajiban menyediakan standar minimum dalam perlindungan HKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Lalu apa hubungannya paten tersebut dengan neraca perdagangan dunia tersebut. Dalam hal ini plant breeders’ right : hak elemen terpenting dalam usaha pembenihan. Sebenarnya petani memiliki kedaulatan atas pengusahaan benih. Benih tersebut kita tahu akan menentukan 60 % kagagalan atau kesuksesan pertanian. Sehingga bila urusan benih saja diakuasai oleh pihak seperti perusahaan swasta, hak atas kedaulatan petani menjadi berkurang. Lalu sebenarnya petani seperti apa yang disebut berdaulat. Dalam definisi FAO (1999) disebutkan hak atas petani adalah hak untuk menggunakan (to use), merubah (to exchange) dan penggunaan areal dan varietas benih bebas tanpa paten. Kenyataanya riset dan pengembangan benih yang ada dikuasai oleh perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang perbenihan. Sebut saja perusahaan sekelas Cargill, Archer daniel Midland (AMD), BASF, dan Monsanto  yang bermain dalam 90% perdagangan pangan dunia. Untuk benih lebih dari 99% dikuasai oleh perusahaan MNC dan 90% diantaranya dikuasai oleh Monsato. Lalu siapa yang diuntungkan ? dari penjualan benih MNC mendapatkan keuntungan 21-54% belum lagi dari perdagangan pangan yang mencapai 180%.

Bagaimana upaya untuk mengantisipasi hal ini? Diperlukan adanya upaya pembangunan yang berorientasi ke petani. Kasihan petani kecil di desa yang selalu saja mengalami kerugian setelah panen melimpah. Upaya untuk merubah paradigma tersebut memang terlihat klise. Namun perlu adanya reorintasi kearah sana. Ledaulatan pangan yang kita saat ini dengungkan seharusnya dilakukanatas daras pertanian agro-ekologi yakni model pertanian yang berpusat di komunitas dan keluarga. Kemudian adanya upaya terhadap akses sumberdaya produktif dengan petani sebagai pelaku utam dalam sumber daya lahan, air dan reforma agraria.

*Merupakan resume kegiatan dalam seminar HKI dan masa depan pertanian Indonesia,
23 Februari 2010 di IPB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah berkunjung ke ariawiyana.co.cc