Senin, 06 Februari 2012

Intermediasi Teknologi Untuk Memperbaiki Mutu Kakao Rakyat


Bersaing dengan kakao dari Pantai Gading dan Ghana. Posisi Indonesia menempati posisi ketiga dalam produksi biji kakao dunia. Sekitar 450,000 ton dihasilkan setiap tahunnya. Dan sekitar 89 % diantaranya berasal dari kakao milik rakyat. Namun, dari sisi kualitas kakao yang dihasilkan milik rakyat tersebut masih rendah.
Dalam Press Relase kedutaan besar Amerika tentang penilaian pihak AS atas biji kakao Indonesia (Oktober 2005). “Bahwa jumlah ekspor biji kakao ke AS ini menurun. Bukan semata automatic detention atau pemotongan harga. Sebagian besar biji coklat yang diterima dari Indonesia, dalam keadaan Mouldy (berjamur atau bulukan). Hal tersebut dapat disebabkan oleh proses pengeringan yang tidak dilakukan dengan benar. Disamping itu, biji kakao Indonesia tersebut, rentan dengan serangan Cocoa Pod Borer yaitu sejenis hama yang akan memakan biji kakao.”
Laporan tersebut menunjukkan pandangan negara pengimpor kakao seperti AS misalnya terhadap Kakao Indonesia. Terdapat banyak faktor memang yang mempengaruhi mutu kakao itu sendiri. Salah satu hal yang mengakibatkan mutu biji kakao rendah, berawal proses fermentasi yang kurang sempurna. Pada tahapan fermentasi ini sebagian besar petani kakao enggan untuk melakukannya karena memerlukan waktu yang sedikit lebih lama. Perilaku pekebun ini dipicu salah satunya akibat fluktuasi harga yang cukup tajam bergantung pasar internasional. Pada saat harga berfluktuasi tajam, pekebun pada umumnya ingin cepat menjual hasil kebunnya tanpa melakukan pengolahan yang memadai, sehingga mutunya rendah.
Jika kita tarik hingga kehulu, masalah kakao ini cukup luas dan rumit. Persoalan tersebut mencakup sumber daya manusia dan kebijakan. SDM/pekebun itu sendiri umumnya kurang memperhatikan soal mutu/kualitas. Tahapan dalam budidaya kakao ini dimulai dari pemilihan benih, budidaya, pemeliharaan hingga panen. Pasca panen hingga mendapatkan biji kakao berkualitas juga cukup banyak meliputi pemeraman, pemecahan buah, dan fermentasi. Upaya ini memerlukan penanganan tenaga lapang/penyuluh maupun upaya peningkatan kapasitas pekebun melalui serangkain kegiatan pelatihan.
Masalah lain yang juga memicu permasalahan adalah upaya pemerintah yang masih kurang memperhatikan peningkatan mutu. Terlebih adanya kebijakan yang membuka peluang ekspor kakao dalam bentuk biji tanpa fermentasi (unfermented). Padahal, harga biji kakao tanpa fermentasi ini lebih rendah dari setelah fermentasi, sekitar US$ 300/ ton.

Inovasi Teknologi Kakao Fermentasi

Adalah Dr. Misnawi dari Pusat penelitian kopi dan kakao Indonesia di Jember. Berhasil melakukan invensi riset dalam upaya peningkatan mutu kakao non-fermentasi melalui reaktifasi enzim. Inovasi tersebut juga tercatat dalam buku “100 Inovasi paling prospektif Indonesia” yang dikeluarkan oleh Kementrian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia, Agustus 2008 lalu.
Inovasi tersebut dilatarbelakangi keprihatinan akan mutu kakao rakyat yang rendah. Sebagai akibat fermentasi yang dilakukan terhadap biji kakao masih kurang sempurna. Serta adanya potensi kehilangan uang negara sekitar Rp 750 M (US$ 84 juta) setiap tahunnya, atas potongan harga atau penolakan dari negara pengimpor.
Teknologi yang dilakukan pun terbilang sederhana, mula-mula biji kakao kering atau kurang fermentasi di bersihkan dari pengotornya. Kemudian mengaktivasi enzim dengan melembabkan biji kakao, meniriskan sisa air, kemudian menginkubasi pada suhu 45o C. Inkubasi inilah yang dikenal sebagai inkubasi in-vitro. Optimasi refermentasi pada biji kakao tersebut disesuaikan dengan lama waktu enzim beraktifitas selama 72 jam (3 hari).
Tim inventor tersebut menemukan, melalui inkubasi in-vitro. Inkubasi biji kakao kurang fermentasi dalam skala laboratorium dapat meningkatkan nilai uji belah (cut test) dan cita rasa setara dengan kakao fermentasi. Lebih lanjut, tim peneliti juga sedang melakukan serangkaian pengujian untuk melindungi biji kakao menggunakan bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat akan diaplikasikan dalam proses inkubasi (refermentasi). Dengan demikian, biji kakao yang dihasilkan tidak hanya bermutu tinggi, tetapi juga tahan simpan dan terbebas dari kontaminasi mikotoksin, khususnya aflatoksin dan okratoksin.

Intermediasi Teknologi : Invensi menuju Inovasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Invensi berupa “penciptaan atau perancangan sesuatu yg sebelumnya tidak ada” adapun inovasi merupakan “(1) pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru; pembaharuan (2) penemuan baru dari yang sudah ada atau yang sudaj dikenal sebelumnya (gagasan, metode, alat)”. Sekilas dua kata tersebut serupa, dengan kata-kunci (keyword) : nilai baru, pembaharuan, penemuan. Namun dalam istilah yang umum dikenal dalam akademisi dan bisnis. Penciptaan nilai tambah dari suatu invensi baru bisa dikatakan inovasi. Dengan kata lain, inovasi adalah penemuan tersebut baik gagasan, metode, atau alat dapat diaplikasikan dan diserap pasar (market demand) serta mempunya sisi nilai bisnis.
Pada umumnya, terdapat perbedaan paradigma dari sisi akademisi. Dimana, dalam penciptaan nilai suatu produk hasil riset kurang memperhatikan kemauan pasar. Dapat dikatakan kurang dapat di-komersialisasi-kan. Dalam hal ini perlu ada suatu kolaborasi dari inventor dan pelaku usaha/industri. Namun, lagi-lagi terdapat rantai yang putus (missed link). Jika mengandalkan inventor dan pelaku usaha untuk bersinergi. Seringkali terdapat beberapa hal yang kurang sreg atar kedua pihak tersebut. Pemerintah, melalui dukungan kebijakan atau dukungan peraturan dan kelembagaan pun seringkali salah sasaran.
Sinergi ABG (akademisi, bisnis, dan pemerintah) sudah waktunya dioptimalisasikan dengan mendirikan lembaga yang bekerja di antara tiga element tersebut. Lembaga Intermediasi, begitu nama lembaga antara ini, dapat dibentuk oleh Pemerintah untuk menjembatani hal tersebut. Lembaga ini berfungsi secara spesifik untuk membawa invensi menjadi inovasi. Penerimaan pasar atas suatu penemuan dari lembaga litbang atau kampus dapat menambah nilai tambah tersendiri.
Di negara-negara maju yang sudah lebih dahulu menerapkan, seperti German misalnya. Lembaga intermediasi ini menyebut diri sebagai Technology Tranfer Centre. Membawa Teknologi menuju Pasar (Technology to the Market). Aktivitas yang dijalankan pun adalah upaya mensinergikan pemain-pemain kunci dalam produk teknologi.
Lembaga intermediasi teknologi ini dapat dikembangkan untuk membantu dalam upaya membawa hasil invensi. Teknologi refermentasi kakao tersebut agar dapat dikomersialisasikan menjadi suatu bisnis tersendiri. Untuk menyelamatkan potensi kehilangan negara, yang oleh Dr. Misnawi tersebut mencapai Rp 750 M setiap tahunnya. Dana sebesar itu adalah potensi dari pemotongan harga ekspor biji kakao sebesar US$ 270-300/ton.
Sebagai asumsi, total produksi kakao Indonesia setiap tahunnya sebesar 475,000 ton. Sekitar 106,533 ton (22,4%) dihasilkan dari kakao milik rakyat di Sulawesi Selatan. Bila lembaga intermediasi ini berhasil mengambil hati 8-10% petani kakao Sumsel untuk bekerja sesuai prosedur dan mutu baku pengelolaan pasca panen kakao untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Sekitar 5,300 ton biji kakao dapat di 'selamatkan' dengan teknologi refermentasi in-vitro ini dan dapat menghindari pemotongan harga yang tidak perlu akibat mutu yang rendah tersebut. Dengan mengalikan jumlah ton terselamatkan dan US$ 300/ton maka didapat angka yang luar biasa sebesar US$ 1,590,000 (1,5 juta Dollar AS). Meskipun diakui memang tidak sesederhana itu, dalam praktiknya. Terdapat hal lain diluar mutu produk itu sendiri yang mempengaruhi harga, terlebih dalam perdagangan internasional.
Terdapat sedikitnya tiga hal peran lembaga intermediasi teknologi ini dalam menerapkan invensi menjadi inovasi. Pertama, mendirikan dan mengelola inkubasi bisnis (business incubation) dan pilot project. Meskipun sudah dinilai cukup baik teknologi invitro refermentasi ini dalam skala lab. Namun, di lapangan perlu dilakukan pengujian dan ekperimen medalam kembali dengan skala/jumlah yang lebih besar dengan peralatan dan kondisi yang biasa dilakukan oleh petani. Membuat pilot project misal untuk 2-3 ton biji kakao menerapkan teknologi invitro refermentasi tersebut.
Kedua, Para intermediator harus pandai-pandai menarik hati kliens (petani kakao, pelaku usaha/industri kakao, dan pemerintah daerah setempat). Dengan membuat kegiatan forum yang mempertemukan ketiga elemen tersebut. Dalam forum tersebut juga akan membuka peluang pembicaraan yang lebih lengkap tentang peran masing-masing.
Ketiga, intermediator juga dapat membuka pasar baru (a new market) dengan menjadi fasilitator untuk mengembangkan produk (biji kakao terfermentasi) menjadi produk turunan bernilai tambah ataupun dapat bermain untuk memotong rantai pasok eksporter. Dalam hal ini, kejelian menangkap kebutuhan pasar baru harus dimiliki para intermediator.
Sekurang-kurangnya rangkain proses diatas dapat dilakukan dalam 12-15 bulan melalui berbagai pendekatan dan cara yang disesuaikan dengan kondisi dilapangan. Jika ini berhasil, lembaga intermediasi (tim intermediator) turut serta dapat menyelamatkan potensi kehilangan harga biji kakao karena rendahnya kualitas. Sekaligus mendorong invensi menjadi inovasi



Tangerang, 6 Februari 2012 (15:28)