Sabtu, 25 Desember 2010

Cinta pejuang : Salam Al- Farisi





Dikisahkan, Salman Al Farisi hendak melamar seorang gadis. Sebagai manusia biasa yang memiliki fitrah cinta, ia jatuh hati pada seorang muslimah shalihah asli penduduk kota Madinah. Maksud suci ini kemudian ia sampaikan kepada Abu Darda’, seorang saudara yang dipertemukan atas nama aqidah.

Abu Darda’ bahagia menyambut keinginan Salman. Ia bergegas mengantarkan saudaranya ini untuk menemui wali dari sang gadis.

“Perkenalkan Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman yang berasal dari Parsi. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah, bahkan ia diberi kehormatan sebagai ahlul bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda,” ucap Abu Darda’ menyampaikan maksud dan tujuan.

Lamaran itu bersambut, “Kami merasa mendapatkan kehormatan menerima tamu dua sahabat Rasulullah yang mulia. Menjadi kehormatan pula bagi keluarga kami jika dapat memiliki seorang menantu dari salah satu sahabat Rasul yang agung. Akan tetapi, kami serahkan sepenuhnya jawaban dari lamaran ini pada putri kami.”

Setelah berdiskusi, Ibu dari sang putri pilihan Salman itu mewakili untuk menjawab. “Mohon maaf sebelumnya jika apa yang kami sampaikan kurang berkenan. Dengan tetap mengharap ridha Allah, putri kami menolak lamaran Salman,” jawab sang Ibu.

Belum lagi Salman merespon jawaban itu, Sang Ibu melanjutkan perkataannya. “Akan tetapi, jika Abu Darda’ mempunyai niat yang sama untuk melamar putri kami, maka kami akan menerimanya,” katanya sang ibu.

Wajar bila Salman kecewa. Kekecewaan yang berlipat. Karena tak hanya niat mempersunting sang putri ditolak, namun kenyataannya justru saudara yang diajak membantu melamar malah yang dikehendaki untuk menikahi sang putri. Kebesaran hati Salman sedang diuji.

”Allahu Akbar!” ujar Salman mencuba meluapkan isi hatinya.

”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian,” lanjutnya tanpa ragu.

Menakjubkan. Kekecewaan Salman berujung keikhlasan tiada tara. Salman Al Farisi dengan ketakwaannya yang memuncak memberikan pelajaran tentang sebentuk kesedaran. Kesedaran bahwa cinta yang diinginkan tak selalu bisa dimiliki. Kesedaran tentang bagaimana semestinya menyingkapi rasa cinta yang Allah hendaki untuk kita.

Salman telah mengajarkan, sebagai pejuang, kita harus menjadi majikan cinta, bukan budaknya. Kita harus mampu mengendalikan nafsu dan perasaan, bukan dikendalikannya. Sungguh indah bila mana cinta dan nafsu itu ditunggang dengan keimanan yang tiada taranya kepada Allah dan Rasulnya.

Dan semoga kita bisa, mendapatkan yang terbaik, dipilih Allah untuk menjadi teman di dunia untuk berjuang dalam agamanya dan akhirat menjadi ketua bidadari bagi seorang lelaki penghuni syurga.

PS ; kisah ini begitu menginspirasi saya pribadi. sehingga saya share disini. semoga bermanfaaat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah berkunjung ke ariawiyana.co.cc