Sabtu, 27 November 2010

Qus custodiet ipsos custodes


Siapa yang akan mengawasi para pengawas! Demikian arti dari judul artikel ini. Adalah  satire karya Juvenal. Kalimat ini begitu terkenal dan menjadi ide cerita utama dari penulis fenomenal the DaVinci Code, Dan brown.  Sekilas mengulas dalam novel karya Dan Brown berhasil menghipnotis pembaca menyelami kejadian demi kejadian yang tak terduga. Buku berjudul Digital Fortress, setebal 366 halaman tersebut sebenarnya adalah cerita 64 jam yang dikemas dengan gaya penyelidikan yang memukau. Adalah Ensei Tankado seorang programer yang tergila-gila pada satir tersebut dan memahatkannya pada cincinnya. Benda tersebut yang menjadi perburuan beberapa agen detektif untuk menyingkap kode rahasia sebagai password atas worm (cacing) yang menjangkit dalam TRANSLTR—superkomputer yang dimiliki NSA (Agensi Intelijen Amerika).

TRANSLTR merupakan superkomputer canggih yang pernah diciptakan sebagai unit untuk menyandi pesan dipergunakan sebagai bagian dalam keamanan dokumen rahasia milik negara. Tidak hanya sebagai penyandi pesan, unit tersebut dapat melakukan program ‘mata-mata’ terhadap email dan dokumen elektronik lain yang lalu lintas dalam jagad web  dunia. Pada akhir kisah tersebut. Worm yang masuk—atau sengaja dimasukkan—untuk menguji keamanan TRANSLTR itu sendiri justru terus berkembang dan berhasil masuk hingga menembus tingkat keamanan yang terdiri atas cincing-cincing firewall (dinding api) puncak. Hingga pasword yang diminta dapat dimasukkan dengan tepat tanpa membuat worm tersebut menginfeksi lebih lanjut. Dan pada akhirnya, pada saat yang tepat, waktu yang tepat kata sandi yang dimaksud dapat ditelusuri dan berhasil menghentikan worm tersebut.

Ada pesan yang menarik dari kisah tersebut terutama dari kutipan satir Juvenal tersebut: siapa yang akan mengawasi para pengawas? Tentu saja dalam cerita tersebut Pengawasan NSA terhadap dokumen  masyarakat dengan dalih untuk keamanan negara. Lalu siapakah yang  menjamin bahwa sang pengawas tersebut bekerja dalam koridor yang disepakati? Pertanyaan dasar itulah yang kini dibelahan dunia manapun, termasuk Indonesia kian menghangat.

 Siapa yang akan mejamin hakim dalam persidangan dapat membuat keputusan tepat?Siapa yang akan menjamin anggota dewan dapat dengan bijak merumuskan aturan perundangan?siapa akan menjamin suara rakyat benar-benar teraspirasi oleh penyelenggara ini ?bahkan siapa yang akan menjamin aparatur negeri ini termasuk presiden dapat dengan benar memimpin negeri ini? Satu Kasus menarik yang baru-baru ini terjadi adalah polemik yang terjadi dalam tubuh kepolisian dan KPK yang sempat bersitegang tentang wewenang terkait penyadapan sambungan pribadi yang dituding menyalahi koridor yang ada menjadi topik tersendiri dalam pengamat hukum, politik, HAM, bahkan pengamat teknologi informasi. “Siapakah yang akan menjamin KPK jika ia terlibat skandal korupsi. Padahal lembaga tersebut adalah motor-nya gerakan anti korupsi?”

Dalam amandeman UUD 1945 yang digulirkan pada era Amien Rais (2000-2004) kala itu sebagai ketua. Hingga akhirnya dibentuk lembaga tinggi baru yakni komisi yudisial (KY) dan mahkamah konstitusi (MK). Yang bertujuan untuk mengatur jalannya penyelenggaraan negara sesuai dengan amanat dasar rakyat yang dirumuskan para founding father kita.  MK sebagai lembaga peradilan tertinggi diberikan wewenang untuk menguji kasus yang melibatkan aturan perundangan tidak bertentangan dengan semangat UUD 1945 dan penjelasan yang dimaksud. Kasus terakhir yang menjadi perhatian adalah putusan diperbolehkannya pemilih yang memiki hak memilih meskipun tidak mendapatkan kertas undangan (tidak tercantum dalam DPT) dapat memilih hanya  dengan memberikan kartu identitas diri yang masih berlaku. Tentu saja ini merupakan terobosan besar yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dikenal kaku dalam memahami peraturan/ prosedur yang ada.

Ada dua hal yang akan menjadi catatan dalam memahami polemik atas pertanyaan ini. Pertama, bahwa sesungguhnya orang-orang yang berada dalam satu organisasi di manapun mereka berada adalah mereka yang memiliki amanah untuk dilaksanakan. Seorang kepala desa memiliki wewenang untuk mengatur kebijakan perangkat desa. Seoranga camat, bupati, hingga presiden memiliki tugas utama yang sama–tentu saja dengan ruang lingkup yang berbeda. Bukankah dalam Al Quran ketika Allah akan memjadikan manusia sebagai khalifah (pemimpin), para malaikat berseru ‘mengapai Engkau (Allah) akan menjadikah khalifah orang-orang yang akan berbuat kerusakan..’ (QS 2:30) dalam ayat lain disebutkan Ketika ‘ Allah berseru kepada langit dan bumi, gunung-gunung  semuanya enggan memikul amanat, namun dipikullah amanat itu oleh manusia. Padahal manusia itu amat zalim dan bodoh’ (QS 33:72). Jika kita sebagai pemegang amanah itu lalai sedikit saja hal itu merupakan bentuk kedzoliman kepada diri sendiri dan kepada orang lain.

Kedua, berbicara tentang pengawasan. Bukankah dalam setiap diri kita telah terdapat pengawasan melekat oleh malaikat. Setiap ucapan, tindakan, bahkan niat saja di dalam hati akan menjadi catatan tersendiri. Pengawasan tersebut lebih canggih dari sekadar ilustrasi superkomputer TRANSLTR yang dimiliki NSA. Lebih canggih dari mesin pengawas lainnya. Jika dua hal ini saja menjadi landasan gerak kita. Siapapun, dimanapun, dan kapapun kita berada. Maka pengawasan itu akan semakin melekat. Lalu siapakah yang akan mengawasi para pengawas itu? Allahlah sebagai pengawas sejati. Sejatinya kita tunduk dan patuh kepada Nya. Wallahu ‘alam.

Bogor, 26/2/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih sudah berkunjung ke ariawiyana.co.cc