Korupsi sudah sedemikian rupa menjadi penyakit akut yang mengerikan pada bangsa ini. Beberapa kalangan bahkan menganggap hal ini sudah menjadi budaya di masyarakat. Lembaga pemberantasan Tindak pidana korupsi (TPK) membutuhkan lebih dari sekadar ketua dan pejabat terkait lainnya yang berkualitas. Gerakan partipasipasi masyarakat anti-korupsi membutuhkan energi luar biasa lebih dari sekedar intruksi atasan kepada bawahan. Tetapi mental yang embodied atas nilai kebaikan universal yang dicontohkan oleh nabi. Sebagai pengejawantahan Tuhan diatas muka bumi. Mental kenabiaan (prophetic mentality) yang mampu menggerakan
Panitia Seleksi pemilihan ketua KPK telah mengajukan dua nama kepada Presiden, yang satu diantaranya akan menduduki “kursi panas” lembaga yang (konon) menakutkan. Saking menakutkannya, lembaga ini pernah diguncang isu yang mendapatkan perhatian luarbiasa dan akhirnya menyeret sejumlah nama termasuk pejabat tinggi di negeri ini. Ya, konspirasi jahat yang hendak mengkerdilkan kinerja KPK dengan mengkriminalisasi pimpinan lembaga yang bertanggungjawab terhadap pembersihan “penyakit” yang sedemikan akut pada bangsa ini.
Sejak berdiri pada tahun 2003 melalui payung hukum UU 30 tahun 2002 KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dibentuk dengan tujuan utama pencegahan dan penindakan kasus yang terkait korupsi. Kemudian pada tahun 2005 Presiden membentuk Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana korupsi) yang seyogyanya melakukan koordinasi diantara kejaksaan, Polri, dan KPK. Namun jika kita menilik sejarah pemberantasan korupsi di tanah air ini. Lembaga anti korupsi yang ada sebelumnya tidak memadai dalam hal pencegahan meskipun telah diberikan mandat. Sering pula dipersepsikan untuk kepentingan tertentu dan tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakat.
Tulisan ini tidak untuk mengurai kebijakan internal KPK ataupun Timtastipikor dan lembaga lain yang turut dalam upaya penanganan kasus korupsi. Penulis akan sedikit menyentuh sisi partisipasi masyarakat dalam gerakan anti-korupsi sebagai sebagai upaya bersama memberantas korupsi yang telah membudaya tersebut
Gerakan Anti Korupsi
Dalam definisi yang disebutkan oleh Robert Klitgaard. korupsi dapat terjadi jika ada monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang yang memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Secara bahasa “korupsi’ berasal dari kata latin corruptio dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, dan memutarbalikkan.
Indonesia telah meratifikasi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) dalam UU 7 tahun 2006. Sehingga tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi adalah: Penyuapan pejabat-pejabat publik nasional; Penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat organisasi-organisasi internasional publik; Penggelapan, penyalahgunaan, atau penyimpangan lain kekayaan oleh pejabat publik; Memperdagangkan pengaruh; Penyalahgunaan fungsi; Memperkaya diri secara tidak sah; Penyuapan di sektor swasta; penggelapan kekayaan di sektor swasta; dll.
Kita tidak akan mengurai definisi yang lebih luas. Diawal tulisan ini sorotan utama dalam Tindak Pidana Korupsi (TPK) sepertinya hanya menjadi wewenang KPK. Padahal secara harafiah pemberantasan TPK adalah upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan-penyidikan-penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dengan peran serta masyarakat.
Jika kita menilik secara sederhana bagaimana proses terjadi korupsi adalah pertemuan niat dan kesempatan. Niat yang ada karena perilaku dan perilaku tersebut tidak terlepas dari value/ nilai moral. Kemudian kesempatan untuk mendukung korupsi karena kelemahan sistem. Dan sekali lagi peran individu-individu dalam masyarakat turut mendukung niat dan kesempatan tersebut. Meminjam istilah Erry Riyana H dalam sesi diskusi “pemberantasan korupsi di Indonesia” [1] peran serta masyarakat beririsan dari penindakan dan pencegahan TPK melalui: (1) ikut aktif mengawasi (2) laporan pengaduan TPK dan (3) tidak permisif terhadap tindakan korupsi dan perilaku koruptif.
Siapa saja masyarakat yang turut seta tersebut sudah dituliskan dalam PP no 71/2000 dalam pasal 1 ayat (1) : Peran serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara tanggung jawab peran aktif individu menjadi prioritas pertama dalam mendukung pemberantasan TPK di organisasi atau lembaga yang mereka ikuti.
Tentu saja untuk membangkitkan tanggung jawab tersebut memerlukan waktu tertentu. Melalui pendidikan dan pelatihan. KPK sendiri telah melakukan kerjasama dengan kampus dalam mendukung upaya pendidikan antikorupsi. Diharapkan tokoh perubahan dari dalam kampus mampu menjadi pendorong untuk melakukan pendekatan terhadap sekolah menengah dalam menggerakan budaya anti-korupsi. salah satunya adalah dengan adanya kantin kejujuran dan ekstrakulikuler antikorupsi di kalangan pelajar.
Pertanyaan selanjutnya apakah tindakan tersebut telah benar-benar membangkitkan semangat masyarakat untuk ikut aktif dalam peran sertanya melawan korupsi. Bagaimana bisa diberantas lho wong sudah mbudaya?! Justru itulah tantangannya, dalam hemat penulis untuk membangkitkan gerakan dalam masyarakat penting adanya suatu role model yang menjadi pijakan contoh utama. Seperti gerakan swadeshi di India oleh gandhi. Gerakan Anti-apharteid di Afrika oleh Mandela. Gerakan tarbiyah ikhwan di Mesir oleh Al banna. Dan masih banyak lagi gerakan di masyarakat karena tokoh utama yang menggerakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah berkunjung ke ariawiyana.co.cc