Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label inspirasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Mei 2012

Ziarah Alm Joni Hermawan


Nur Hidayat bersama Ayah Almarhum Joni

Tulisan ini adalah perjalanan saya dan beberapa rekan-rekan TIN43 ke Serang, Banten. Dalam rangka untuk berziarah salah satu rekan kami (Alm) Joni Hermawan, wafat 2008 lalu. Ahad (11/3/2012), Sehari setelah menghadiri walimatul ursy Arief dan Yulia (Njul) di kawasan Bekasi semalamnya. Personel yang ikut serta : Ahmad D.Muthi (pencentus idea dan penyedia sarana/ mobil), Ari ( Juragan Callina sekaligus bendahara perjalanan), Ahmad Faisal (penunjuk jalan) sisanya adalah regu penggembira : Nur hidayat, Nurul Fitriyanty, Dian Fajarika, dan Saya.

Kami berangkat dari kediaman Muthi di kawasan Jati Bening, Bekasi. Sudah diduga akan ngaret dari jam 6 perjalanan di rencanakan. Karena memang saat itu kami kelelahan karena kegembiraan di WU arief-yulia, hingga pukul 1 Malam kami masih asyik berbicara ini-itu. Maklum, kawan lama yang ketemu lagi, setelah mengecap Alumnie. He.. Setelah berbenah diri, mobil meluncur ke kediaman Nurul di kawasan Kp. Cerewed, Bekasi (nama tempatnya menggambarkan orangnya :). Disana, ada personel yang tidak jadi ikut serta sdr Budi dan Norma sekaligus berganti mobil  jadi Kuda (jangan bayangin kuda sungguhan, berasa ke jaman Majapahit dong, tapi masih jenis mobil keluaran Mitsubishi). Setelah ritual sarapan pagi dan menyeruput teh hangat yang disajikam tuan rumah cerewed. Kami diijinkan berangkat sekitar pukul setengah delapan. Sejurus kemudian, sang Kuda berangkat, kami harus melewati kawasan UKI Cawang untuk menjemput personel lain yang turut serta : Nur Hidayat. Dan perjalananpun dimulai.

Melewati ruas utama ibukota, menikmati hari tanpa macet itu adalah anugerah, terang salah satu personel yang saban hari setengah enam sudah harus berdiri berjejal di bus kota. Personel lain yang tidak merasakan hal itu, merasa bersyukur. He. Lalu cerita-cerita mengalir, tentu dengan celoteh celoteh gak karuan dari masing-masing personel dengan kekhasannya. Masuk dalam ruas tol Jakarta-Merak. Bekal camilan dari Dina dan Yulia (sang pengantin baru) ikut menemani, krauk-krauk. Hingga dua jam kemudian, sekitar pukul sembilan, memasuki pintu tol Serang Timur dan menyusur jalan mencari lokasi yang disebutkan (Faisal yang ingat nama jalan menuju rumah alm Joni tersebut). Pepatah bijak menyebutkan : Malu bertanya sesak di Jalan. Maka, kami bertanyalah kepada mereka yang beruntung untuk kami tanya. Nur hidayat yang menjadi algojo untuk bertanya. Sambil menyebutkan nama lokasi. Sang Mamang-mamang memberitahu jawaban absurd yang akan membuat kami tetap fokus dengan pelajaran matematika dasar. "Gak jauh kok, tiga pom bensin dari sini deket Alfamart" Maka, mulailah kami berhitung. Satu..Dua..Tiga.. dan mencari-cari tanda-tanda Alfamart disekitarnya. Mengandalkan juga ingatan yang terbatas saat saya, muthi, dan faisal dulu pernah juga menjenguk ke Almarhum saat masa sakitnya. Itu hampir 4 tahun yang lalu.

Dan, nama tempat yang dituju sampai juga dengan adanya tanda-tanda yang disebutkan mamang-mamang sang penjawab tadi. Ingatan pun kembali hadir, karena memang seingat saya tidak jauh dari pabrikan penyedia pakan ternak terbesar di negeri ini, asal Thailand itu. Kembali menyusur jalan desa yang kami bersepakat Jasa Pencucian Steam Motor akan sangat laku di desa itu. Dan kami pun berpikir jika hujan dan malam tiba, lebih baik tidak usah kemana-kemana, kecuali itu adalah kegiatan yang perlu dan mendesak. Tidak berapa lama, komunikasi via sms Faisal dengan adik almarhum memberikan isyarat rumahnya tidak jauh dari pasar desa. Sejurus kemudian tiba jua di rumah kediaman Orang tua Almarhum. Berupa bangunan Rumah Toko (Toko klontong di depannya). Sang Adik sudah mengetahui kehadiran kita, karena mobil yang melaju kejauhan parkir dan harus putar balik.

Ziarah Makam Almarhum 


Sesampainya, kami keluarkan beberapa "bawaan" kami. Pepaya Super Calllina dua keranjang dan beberpa penganan ringan titipan dari Sang Pengantin Baru (Yulia-Arif).Kami disambut hangat oleh orangtua Almarhum. Tikar sudah disiapkan sebelumnya di ruang tengah. Mengalirlah dialog- dialog hangat kami dan sang pemilik rumah. Ibu Alharhum menanyakan Praja, kawan kami yang secara intens berkomunikasi dengan keluarga almarhum termasuk sesaat sebelum kami berangkat. Karena alasan tugas pekerjaan, kami katakan Praja tidak dapat ikut serta. Kemudian, berdatangan beberapa tetangga atau mungkin juga saudara dari orangtua almarhum. Setelah berbasa basi, kami ketahui Ia adalah guru ngaji Almarhum. Kemudian kami mulai mengenang riwayat Almarhum hingga pada tahun ke empat ini. kami semapatkan untuk berkunjung kembali. Saya pribadi, pertama kalinya datang, pada saat berita wafatnya tidak dapat hadir dalam pemakamannya. Tidak lama, kami utarakan, melalui sdr Muthi maksud berkunjung untuk juga berziarah ke makam almarhum. Yang menarik disini, sang Ayah berseloroh bahwasanya hingga saat ini (sejak pemakaman hingga hari kami berkunjung) belum bisa melupakan Almarhum, termasuk untuk datang ke Makam yang tak jauh dari kediaman. Kami mafhum hal itu.

Kemudian, kami bergegas jalan kaki dengan diantar kerabat keluarga ke Makam Almarhum. Sekita 200 meer kami berjalan. Tidak tampak area  pemakaman. Hanya saja beberapa nisan dibiarkan teronggok begitu saja. Dengan rumput yang meninggi. Hampir-hampir saja saya tidak menganli bahwa gundukan itu adalah makam. Karena tidak berbeda dengan tanah lapang lainnya, bahkan tidak ada nisan diatasnya sebagai penanda. Kerabat tersebut sudah mempersiapkan membawa cangkul untuk membersihkan seadanya. Kami pun bersimpuh dan ikut hanyut dalam doa doa yang dibacakan. Saya kembali teringat sosok Almarhum yang belum lama jua dikenal, hanya dua semester kebersamaan di kelas saat itu. Kemudian, saya juga teringat dengan catatan-catatan kecilnya, saat berada di kamar kosan saat itu. Ia anak baik, rajin, dan cerdas. Sang orangtua Almarhum pun menuturkan hal yang sama. Tetapi jika Allah sudah berkehendak maka tak ada makhuk satupun yang mampu. Selesai membacakan doa-doa untuk Almarhum. Kami kembali berjalan ke kediaman. Saat jalan itu, kami sudah berbincang akan langsung pulang agar tidak terlalu sore sampai Jakarta/ Bogor.

Pantang pulang sebelum kenyang :) 

Rencana itu harus kami batalkan karena Orangtua Alm sudah mempersiapkan menu makan siang diatas tikar di ruang tengah tadi. Nasi, Sayur Sop, Ayam goreng, serta buah penggoda selera Pepaya Callina dan Duku. Tidak tanggung tanggung dua tangkup nasi porsi besar disediakan. Kamipun diminta untuk menghabiskan lauk yang masih ada. Saya pribadi sudah kesulitan untuk berdiri jika harus mengikuti pesan dari Orangtua Almarhum tersebut. Sebagai gantinya Pepaya, Jeruk, dan Duku jadi target penutup.

Selepas Sholat Djama Dzuhur dan Ashar kami berpamitan. Waktu menunjuk jam 14.30 sore. Kemudian kami berfoto bersama (ada di Kamera Faisal hasil jepretan ini). Dan amplop kecil yang sudah kami siapkan, titipan dari kawan-kawan yang tidak turut serta kami berikan ke Adik Almarhum yang sedang berkuliah semester dua di Balaraja sana. Demikian catatan perjalanan saya dan rekan-rekan dalam Ziarah ke Alm. Joni Hermawan. Serang, Banten. Semoga Allah melapangkan Kubur dan dibukakan pintu-pintu maghfirah dan Rahmat Nya. Amin




Minggu, 22 Januari 2012

Catatan Kunjungan Bapak BJ Habibie ke Garuda Indonesia (oleh : Capt Novianto Herupratomo)

postingan ini saya dapatkan dari kawan didalam milist yang juga merupakan tulisan catatan kegiatan seorang penerbang yang hadir pada saat kunjungan Bapak Habibie, berikut tulisan tersebut (sesuai naskah aslinya dalam email)
---------------------------------------------------


KUNJUNGAN BAPAK BJ HABIBIE
Kantor Manajemen Garuda Indonesia
Garuda City Complex, Bandara Soekarno-Hatta
12 Januari 2012

Pada usianya 74 tahun, mantan Presiden RI, BJ Habibie secara mendadak mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung, Ilham Habibie dan keponakannya(?), Adri Subono, juragan Java Musikindo. Kunjungan beliau dan rombongan disambut oleh President & CEO, Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area Manager yang sedang berada di Jakarta.

Dalam kunjungan ini, diputar video mengenai Garuda Indonesia Experience dan presentasi perjalanan kinerja Garuda Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2015 menuju Quantum Leap. Sebagai “balasan” pak Habibie memutarkan video tentang penerbangan perdana N250 di landasan bandara Husein Sastranegara, IPTN Bandung tahun 1995 (tujuh belas tahun yang lalu!).
Entah, apa pasalnya dengan memutar video ini? 

Video N250 bernama Gatotkaca terlihat roll-out kemudian tinggal landas secara mulus di-escort oleh satu pesawat latih dan sebuah pesawat N235. Pesawat N250 jenis Turboprop dan teknologi glass cockpit dengan kapasitas 50 penumpang terus mengudara di angkasa Bandung.Dalam video tsb, tampak para hadirin yang menyaksikan di pelataran parkir, antara lain Presiden RI Bapak Soeharto dan ibu, Wapres RI bapak Soedarmono, para Menteri dan para pejabat teras Indonesia serta para teknisi IPTN. Semua bertepuk tangan dan mengumbar senyum kebanggaan atas keberhasilan kinerja N250. Bapak Presiden kemudian berbincang melalui radio komunikasi dengan pilot N250 yang di udara, terlihat pak Habibie mencoba mendekatkan telinganya di headset yang dipergunakan oleh Presiden Soeharto karena ingin ikut mendengar dengan pilot N250.

N250 sang Gatotkaca kembali pangkalan setelah melakukan pendaratan mulus di landasan..................
Di hadapan kami, BJ Habibie yang berusia 74 tahun menyampaikan cerita yang lebih kurang sbb:
“Dik, anda tahu..............saya ini lulus SMA tahun 1954!” beliau membuka pembicaraan dengan gayanya yang khas penuh semangat dan memanggil semua hadirin dengan kata “Dik” kemudian secara lancar beliau melanjutkan.................
“Presiden Soekarno, Bapak Proklamator RI, orator paling unggul, .......itu sebenarnya memiliki visi yang luar biasa cemerlang! Ia adalah Penyambung Lidah Rakyat! Ia tahu persis sebagai Insinyur.........Indonesia dengan geografis ribuan pulau, memerlukan penguasaan Teknologi yang berwawasan nasional yakni Teknologi Maritim dan Teknologi Dirgantara. Kala itu, tak ada ITB dan tak ada UI. Para pelajar SMA unggulan berbondong-bondong disekolahkan oleh Presiden Soekarno ke luar negeri untuk menimba ilmu teknologi Maritim dan teknologi dirgantara.

 Saya adalah rombongan kedua diantara ratusan pelajar SMA yang secara khusus dikirim ke berbagai negara. Pendidikan kami di luar negeri itu bukan pendidikan kursus kilat tapi sekolah bertahun-tahun sambil bekerja praktek. Sejak awal saya hanya tertarik dengan ‘how to build commercial aircraft’ bagi Indonesia. Jadi sebenarnya Pak Soeharto, Presiden RI kedua hanya melanjutkan saja program itu, beliau juga bukan pencetus ide penerapan ‘teknologi’ berwawasan nasional di Indonesia. Lantas kita bangun perusahaan-perusahaan strategis, ada PT PAL dan salah satunya adalah IPTN.

Sekarang Dik,............anda semua lihat sendiri..............N250 itu bukan pesawat asal-asalan dibikin! Pesawat itu sudah terbang tanpa mengalami ‘Dutch Roll’ (istilah penerbangan untuk pesawat yang ‘oleng’) berlebihan, tenologi pesawat itu sangat canggih dan dipersiapkan untuk 30 tahun kedepan, diperlukan waktu 5 tahun untuk melengkapi desain awal, satu-satunya pesawat turboprop di dunia yang mempergunakan teknologi ‘Fly by Wire’ bahkan sampai hari ini. Rakyat dan negara kita ini membutuhkan itu! Pesawat itu sudah terbang 900 jam (saya lupa persisnya 900 atau 1900 jam) dan selangkah lagi masuk program sertifikasi FAA. IPTN membangun khusus pabrik pesawat N250 di Amerika dan Eropa untuk pasar negara-negara itu.

Namun, orang Indonesia selalu saja gemar bersikap sinis dan mengejek diri sendiri ‘apa mungkin orang Indonesia bikin pesawat terbang?’
Tiba-tiba, Presiden memutuskan agar IPTN ditutup dan begitu pula dengan industri strategis lainnya.

Dik tahu................di dunia ini hanya 3 negara yang menutup industri strategisnya, satu Jerman karena trauma dengan Nazi, lalu Cina (?) dan Indonesia.............
Sekarang, semua tenaga ahli teknologi Indonesia terpaksa diusir dari negeri sendiri dan mereka bertebaran di berbagai negara, khususnya pabrik pesawat di Bazil, Canada, Amerika dan Eropa................

Hati siapa yang tidak sakit menyaksikan itu semua.....................?
Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun.

Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!”
Pak Habibie menghela nafas.......................


Ini pandangan saya mengenai cerita pak Habibie di atas;
Sekitar tahun 1995, saya ditugaskan oleh Manager Operasi (JKTOF) kala itu, Capt. Susatyawanto untuk masuk sebagai salah satu anggota tim Airline Working Group di IPTN dalam kaitan produksi pesawat jet sekelas B737 yang dikenal sebagai N2130 (kapasitas 130 penumpang). Saya bersyukur, akhirnya ditunjuk sebagai Co-Chairman Preliminary Flight Deck Design N2130 yang langsung bekerja dibawah kepala proyek N2130 adalah Ilham Habibie. Kala itu N250 sedang uji coba terus-menerus oleh penerbang test pilot (almarhum) Erwin. Saya turut mendesain rancang-bangun kokpit N2130 yang serba canggih berdasarkan pengetahuan teknis saat menerbangkan McDonnel Douglas MD11. Kokpit N2130 akan menjadi mirip MD11 dan merupakan kokpit pesawat pertama di dunia yang mempergunakan LCD pada panel instrumen (bukan CRT sebagaimana kita lihat sekarang yang ada di pesawat B737NG). Sebagian besar fungsi tampilan layar di kokpit juga mempergunakan “track ball atau touch pad” sebagaimana kita lihat di laptop. N2130 juga merupakan pesawat jet single aisle dengan head room yang sangat besar yang memungkinkan penumpang memasuki tempat duduk tanpa perlu membungkukkan badan. Selain high speed sub-sonic, N2130 juga sangat efisien bahan bakar karena mempergunakan winglet, jauh sebelum winglet dipergunakan di beberapa pesawat generasi masa kini.

Saya juga pernah menguji coba simulator N250 yang masih prototipe pertama.................
N2130 narrow body jet engine dan N250 twin turboprop, keduanya sangat handal dan canggih kala itu.........bahkan hingga kini.
Lamunan saya ini, berkecamuk di dalam kepala manakala pak Habibie bercerita soal N250, saya memiliki kekecewaan yang yang sama dengan beliau, seandainya N2130 benar-benar lahir.............kita tak perlu susah-susah membeli B737 atau Airbus 320.

Pak Habibie melanjutkan pembicaraannya....................
“Hal yang sama terjadi pada prototipe pesawat jet twin engines narrow body, itu saya tunjuk Ilham sebagai Kepala Proyek N2130. Ia bukan karena anak Habibie, tapi Ilham ini memang sekolah khusus mengenai manufakturing pesawat terbang, kalau saya sebenarnya hanya ahli dalam bidang metalurgi pesawat terbang. Kalau saja N2130 diteruskan, kita semua tak perlu tergantung dari Boeing dan Airbus untuk membangun jembatan udara di Indonesia”.

“Dik, dalam industri apapun kuncinya itu hanya satu QCD,
- Q itu Quality, Dik, anda harus buat segala sesuatunya berkualitas tinggi dan konsisten
- C itu Cost, Dik, tekan harga serendah mungkin agar mampu bersaing dengan produsen sejenis
- D itu Delivery, biasakan semua produksi dan outcome berkualitas tinggi dengan biaya paling efisien dan disampaikan tepat waktu!
Itu saja!”

Pak Habibie melanjutkan penjelasan tentang QCD sbb:
“Kalau saya upamakan, Q itu nilainya 1, C nilainya juga 1 lantas D nilainya 1 pula, jika dijumlah maka menjadi 3. Tapi cara kerja QCD tidak begitu Dik.............organisasi itu bekerja saling sinergi sehingga yang namanya QCD itu bisa menjadi 300 atau 3000 atau bahkan 30.000 sangat tergantung bagaimana anda semua mengerjakannya, bekerjanya harus pakai hati Dik..................”
Tiba-tiba, pak Habibie seperti merenung sejenak mengingat-ingat sesuatu ...........................
“Dik, ..........saya ini memulai segala sesuatunya dari bawah, sampai saya ditunjuk menjadi Wakil Dirut perusahaan terkemuka di Jerman dan akhirnya menjadi Presiden RI, itu semua bukan kejadian tiba-tiba. Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, ...........ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya............saya mau kasih informasi........... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu........................”

Pak Habibie menghela nafas panjang dan tampak sekali ia sangat emosional serta mengalami luka hati yang mendalam.............................seisi ruangan hening dan turut serta larut dalam emosi kepedihan pak Habibie, apalagi aku tanpa terasa air mata mulai menggenang.
Dengan suara bergetar dan setengah terisak pak Habibie melanjutkan........................

“Dik, kalian tau.................2 minggu setelah ditinggalkan ibu............suatu hari, saya pakai piyama tanpa alas kaki dan berjalan mondar-mandir di ruang keluarga sendirian sambil memanggil-manggil nama ibu......... Ainun......... Ainun ................. Ainun ..............saya mencari ibu di semua sudut rumah.
Para dokter yang melihat perkembangan saya sepeninggal ibu berpendapat ‘Habibie bisa mati dalam waktu 3 bulan jika terus begini..............’ mereka bilang ‘Kita (para dokter) harus tolong Habibie’.
Para Dokter dari Jerman dan Indonesia berkumpul lalu saya diberinya 3 pilihan;
1. Pertama, saya harus dirawat, diberi obat khusus sampai saya dapat mandiri meneruskan hidup. Artinya saya ini gila dan harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa!
2.     Opsi kedua, para dokter akan mengunjungi saya di rumah, saya harus berkonsultasi terus-menerus dengan mereka dan saya harus mengkonsumsi obat khusus. Sama saja, artinya saya sudah gila dan harus diawasi terus...............
3.  Opsi ketiga, saya disuruh mereka untuk menuliskan apa saja mengenai Ainun, anggaplah saya bercerita dengan Ainun seolah ibu masih hidup.
Saya pilih opsi yang ketiga............................”

Tiba-tiba, pak Habibie seperti teringat sesuatu (kita yang biasa mendengarkan beliau juga pasti maklum bahwa gaya bicara pak Habibie seperti meloncat kesana-kemari dan kadang terputus karena proses berpikir beliau sepertinya lebih cepat dibandingkan kecepatan berbicara dalam menyampaikan sesuatu) ...................... ia melanjutkan pembicaraannya;

“Dik, hari ini persis 600 hari saya ditinggal Ainun..............dan hari ini persis 597 hari Garuda Indonesia menjemput dan memulangkan ibu Ainun dari Jerman ke tanah air Indonesia.............

Saya tidak mau menyampaikan ucapan terima kasih melalui surat............. saya menunggu hari baik, berminggu-minggu dan berbulan-bulan untuk mencari momen yang tepat guna menyampaikan isi hati saya. Hari ini didampingi anak saya Ilham dan keponakan saya, Adri maka saya, Habibie atas nama seluruh keluarga besar Habibie mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya, kalian, Garuda Indonesia telah mengirimkan sebuah Boeing B747-400 untuk menjemput kami di Jerman dan memulangkan ibu Ainun ke tanah air bahkan memakamkannya di Taman Makam Pahlawan. Sungguh suatu kehormatan besar bagi kami sekeluarga. Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih atas bantuan Garuda Indonesia”
Seluruh hadirin terhenyak dan saya tak kuasa lagi membendung air mata..............................

Setelah jeda beberapa waktu, pak Habibie melanjutkan pembicaraannya;
“Dik, sebegitu banyak ungkapan isi hati kepada Ainun, lalu beberapa kerabat menyarankan agar semua tulisan saya dibukukan saja, dan saya menyetujui.....................


Buku itu sebenarnya bercerita tentang jalinan kasih antara dua anak manusia. Tak ada unsur kesukuan, agama, atau ras tertentu. Isi buku ini sangat universal, dengan muatan budaya nasional Indonesia. Sekarang buku ini atas permintaan banyak orang telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, antara lain Inggris, Arab, Jepang..... (saya lupa persisnya, namun pak Habibie menyebut 4 atau 5 bahasa asing).

Sayangnya buku ini hanya dijual di satu toko buku (pak Habibie menyebut nama satu toko buku besar), sudah dicetak 75.000 eksemplar dan langsung habis. Banyak orang yang ingin membaca buku ini tapi tak tahu dimana belinya.
Beberapa orang di daerah di luar kota besar di Indonesia juga mengeluhkan dimana bisa beli buku ini di kota mereka.

Dik, asal you tahu............semua uang hasil penjualan buku ini tak satu rupiahpun untuk memperkaya Habibie atau keluarga Habibie. Semua uang hasil penjualan buku ini dimasukkan ke rekening Yayasan yang dibentuk oleh saya dan ibu Ainun untuk menyantuni orang cacat, salah satunya adalah para penyandang tuna netra. Kasihan mereka ini sesungguhnya bisa bekerja dengan nyaman jika bisa melihat.

Saya berikan diskon 30% bagi pembeli buku yang jumlah besar bahkan saya tambahkan lagi diskon 10% bagi mereka karena saya tahu, mereka membeli banyak buku pasti untuk dijual kembali ke yang lain.
Sekali lagi, buku ini kisah kasih universal anak manusia dari sejak tidak punya apa-apa sampai menjadi Presiden Republik Indonesia dan Ibu Negara. Isinya sangat inspiratif...................”
(pada kesempatan ini pak Habibie meminta sesuatu dari Garuda Indonesia namun tidak saya tuliskan di sini mengingat hal ini masalah kedinasan).
Saya menuliskan kembali pertemuan pak BJ Habibie dengan jajaran Garuda Indonesia karena banyak kisah inspiratif dari obrolan tersebut yang barangkali berguna bagi siapapun yang tidak sempat menghadiri pertemuan tsb. Sekaligus mohon maaf jika ada kekurangan penulisan disana-sini karena tulisan ini disusun berdasarkan ingatan tanpa catatan maupun rekaman apapun.


Jakarta, 12 Januari 2012


Salam,

 Capt. Novianto Herupratomo


This email and any attachments are confidential and may also be privileged. If you are not the addressee, do not disclose, copy, circulate or in any other way use or rely on the information contained in this email or any attachments. If received in error, notify the sender immediately and delete this email and any attachments from your system. Emails cannot be guaranteed to be secure or error free as the message and any attachments could be intercepted, corrupted, lost, delayed, incomplete or amended. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., do not accept liability for damage caused by this email or any attachments and may monitor email traffic.

Sabtu, 21 Januari 2012

Mac Ad - Think Different




Here’s to the crazy ones. The misfits. The rebels. The troublemakers. The round pegs in the square holes. The ones who see things differently. They’re not fond of rules. And they have no respect for the status quo. You can quote them, disagree with them, glorify or vilify them. About the only thing you can’t do is ignore them. Because they change things. They push the human race forward. While some may see them as the crazy ones, we see genius. Because the people who are crazy enough to think they can change the world... are the ones who do. - Apple Inc.


Tranlasi bahasa Indonesia (dalam biografi "SteveJobs", hlm. 409)


Bersulang untuk mereka yang gila. Lain. Tukang berontak. Biang onar. Aneh sendiri. Yang berpandangan beda. Yang tidak suka aturan. Yang anti-kemapanan. Silakan mencontoh mereka, bantah mereka, puji atau caci mereka. Tetapi jangan abaikan mereka. Karena merekalah agen perubahan. Merekalah yang memajukan umat manusia. Meski kata orang mereka gila, geniuslah yang kami lihat. Karena si gila yang yakin bisa mengubah dunia... bisa mengubah apa saja 

Selasa, 08 Februari 2011

Laskar Pelangi Musikal


laskar pelagi musikal




Mahar dan Alam

Mengapa kalian ragu
mengapa kalian harus malu
kalian punya mahar
seniman belitong yang hebat
kita perlu ikut karnaval

kita tak perlu kaya
kita tak butuh banyak dana
serahkan pada mahar dan alam
akan tercipta karya besar
kita harus ikut karnaval


# sudah waktunya
kita pamerkan pada semua
sudah saatnya
semua ingat sekolah kita ada
jangan fikirkan
perkara kalah dan menang
tapi jangan salahkan mahar
karna bisa jadi kita menang


mengapa kalian ragu (kami tak ingin ragu)
mengapa kalian harus malu (kami tak yakin mampu)
percaya pada mahar
seniman penuh dengan imajinasi
alam jadi sumber inspirasi (mampukan kita beraksi)

back to #
kita tak perlu kaya
kita tak butuh banyak dana
serahkan pada mahar dan alam
akan tercipta karya besar
kita siap ikut karnaval

download lagunya disini

video trailer Laskar Pelangi Musikal

Minggu, 06 Februari 2011

membuat taman (bagian 1)


Dalam postingan kali ini saya ingin mencoba me-market-isasi Leafgarden. Insya Allah pada pertengahan tahun 2011 ini, akan melebarkan sayap menjadi pemain Event Organizer dengan nama CV. Leaf Agri Mandiri. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa dekorasi taman, nurseri, tanaman hias, lanskap artistik, and so on (masih banyak tapi belom di breakdown). 

gambar yang diambil bebas dari google image dipadukan 
dengan gickr.com untuk membuat animasinya

Pada edisi awal Februari 2011. Leaf garden mendapatkan penawaran untuk membuat design dan pengerjaan taman di Asrama Putri A1- TPB IPB. Lapangan yang terletak di areal tengah asrama tersebut. Memiliki luas 23 x 12 m (bisa dipake maen bola, kalo mau? tapi siapaa mau. namanya juga asrama putri. ada juga lapangan berbie..he). dari pihak SR yang kami temui (sebut saja, namanya Ophie) meminta kami (baca: dua orang tampan dengan penampilan trendi) untuk membuatkan design yang menarik di areal lapangan tersebut. yang nantinya akan menjadi point of interest (titik pandang yang enak untuk dipandang). Dengan memadukan bebungaan, jalan setapak yang dibuat memadu dengan batu koral berwarni. (bersambung)



Senin, 13 Desember 2010

Kamus

oleh ; Putu Wijaya (Dramawan)
ADA dua buah kamus bahasa Indonesia yang monumental. Yang pertama karya Poerwadarminta. Karya ini kedudukannya sudah seperti primbon, lama sekali tidak ada tandingannya. Yang kedua Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh sebuah tim, produk Pusat Bahasa.
Apakah dengan bersenjata kedua kamus itu, seluruh teks, ekspresi, dan narasi dengan bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan, menjadi jelas? Bagi orang Indonesia sendiri, jawabannya mudah. Karena bahasa tidak harus dimengerti tetapi dirasa. Tanpa kedua kamus itu pun, segalanya sudah jelas. Kata-kata sudah menyambung rasa tanpa mesti lebih dulu dipahami. Tetapi, bagi mereka yang "ibunya" tidak berbahasa Indonesia, kedua kamus itu pun masih belum cukup. Karena bahasa Indonesia seperti sebuah peta buta.
Ada seorang doktor, ketika menerjemahkan sebuah novel Indonesia ke bahasa Prancis, tak tanggung-tanggung terbang dari Paris untuk menjumpai penulisnya yang sedang syuting film di Puncak. Keperluannya hanya untuk menanyakan arti yang pasti dari sebuah kalimat-lebih tepat dikatakan sebuah kata dalam sebuah kalimat-yang membuat langkahnya berhenti. Pasalnya, ia tidak mau menebak-nebak, takut salah. Alangkah herannya ketika ia mendapat jawaban bahwa arti dari kalimat itu terserah. Begitu boleh, begini juga bisa. Semuanya sah-sah saja.
Seperti kata: acuh. Satu saat bisa berarti peduli. Tapi di saat yang lain tanpa diberi tanda baca, cetak miring atau garis bawah, artinya bisa kebalikannya: tak peduli. Arti sebuah kata lalu tidak sebagaimana yang tertera dalam kamus, tetapi tergantung saat, siapa, dan bagaimana kata itu disampaikan. Tiba-tiba sebuah kata menjadi gambar dalam huruf kanji yang bunyinya bisa berbeda-beda tergantung konteksnya.
"Kemudahan" dan "kesederhanaan" bahasa Indonesia yang tak mengenal jenis kelamin, perbedaan waktu dalam kata kerja, dan penanda tunggal-jamak tiba-tiba menjadi kerumitan. Bagi yang sudah terbiasa dengan kepastian, bahasa Indonesia menjadi sebuah teka-teki. Kamus bukan lagi buku suci, tetapi hanya sebuah referensi. Dalam kehidupan bahasa Indonesia, setiap orang sudah bertumbuh menjadi kamus.
Kata ganyang dalam bahasa Jawa yang berarti makan, santap, atau lalap, "dibantingsetirkan" oleh Bung Karno, di era konfrontasi dengan Malaysia, menjadi berarti hajar, kalahkan, atau taklukkan. Tetapi Bung Karno seorang pemimpin yang karismatik. Pengembangan, pembelokan, bahkan pembalikan arti dari sebuah kata dari seorang tokoh dengan mudah tersosialisasi dan kemudian menjadi kesepakatan bersama.
Saya adalah sebutan dari orang pertama. Saya lebih menunjukkan kerendahan hati, sopan, menghormati yang diajak bicara dibandingkan dengan "aku". Anak, kepada orang tua dan guru atau bawahan pada atasan, membahasakan dirinya dengan saya. Tapi ketika Chairil Anwar menulis sajak berjudul "Aku" pada 1943, dua tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan, kebangkitan pada harga diri seseorang untuk bebas dan merdeka memberi angin pada kata aku. Kini di era televisi swasta, para selebritas tak memakai kata saya lagi, tetapi aku dan "gue". Pengaruhnya luar biasa. Kini seorang anak dan para pembantu tanpa risi lagi membahasakan dirinya "aku" kepada siapa pun berbicara. Dalam keluarga, antara suami dan istri, bahkan juga anak, kata gue pun sudah mulai lumrah atau dimaafkan.
Orang besar dan media yang punya kekuasaan, lambat-laun, mau tak mau akan menjadi kamus. Maklum, bahasa memang bukan ilmu pasti yang bisa dibekuk dengan kebakuan yang menjadi misi pembuatan kamus. Tetapi, ketika semua orang meniru dan menjadikan dirinya kamus, akan terjadi kesewenang-wenangan. Kata-kata akan menjadi anarkistis. Bahasa dizalimi. Kriminalitas bahasa terjadi tapi tidak bisa lagi diadili karena terlalu banyaknya. Bahasa Indonesia akan menjadi sarang penyamun.
Undang-undang kebahasaan sudah lahir. Kesepakatan dalam bahasa yang dikhawatirkan akan dikuntit sanksi bagi pelanggarnya itu sudah mulai banyak ditentang. Pemakaian bahasa yang tidak lagi dibablaskan tapi diberi lajur-lajur, kisi-kisi yang lebih pasti itu akan menyapu bersih segala penyimpangan bahasa. Yang kini mengacak bahasa Indonesia dengan mengimpor berbagai kausa kata asing, misalnya, tidak akan bisa seenak udelnya lagi berenang gaya bebas Bahasa Indonesia akan memasuki tertib hukum.
Alhamdulillah itu tak terjadi. Undang-Undang Bahasa, yaitu Undang-Undang Nomor 23/2009, itu tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan. Isinya mengatur bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, dan transaksi/dokumentasi niaga. Jadi bukan membatasi penggunaan berbahasa.
Namun pertanyaan masih tetap. Apakah kamus dapat menjadi kiblat bahasa Indonesia? Apakah tertib bahasa akan mampu mengembangkan bahasa Indonesia menjadi bahasa yang hidup, tangkas, menarik, dan mampu menjadi bahasa ilmiah? Apakah kebakuan yang dijamin dalam kamus akan menghentikan kenakalan, kebablasan, dan keliaran yang begitu pesat larinya sejak Angkatan 45 (dalam sastra Indonesia) menjadi joki yang mengembangkan bahasa Melayu Pasar menjadi bahasa Indonesia hingga berbeda dengan bahasa Melayu yang kini dijumpai baik di Malaysia maupun Brunei?
Para sastrawan, yang malang-melintang dalam kancah bahasa, sangat berkepentingan menjawab. Mungkin mereka mau mengatakan bahwa kamus adalah benda mati yang tak akan mungkin jadi joki. Bahasa Indonesia dapat dikawal tetapi gebrakannya yang semakin cepat dan deras akan membuat kamus hanya mampu mengapresiasi, bukan membatasi.
PS: saya suka sekali dengan gayu tulis-menulis di laman majalah tempo. Tentang rubrik bahasa, catatan pinggir, kolom-kolom nya. Rima yang dbangun begitu anggun, kuat, dan tajam. 

For The Rest Of My Life (Maher Zein)



Didedikasikan untuk sahabatku..yang sebentar lagi akan menikah. ^^

Jumat, 03 Desember 2010

Satu pagi : Aku dan Pasukan Lebah


Suatu pagi,  2008 silam. Sepertinya ingin kembali melarung bersama dalam nuansa penuh keluargaan seperti ini. Saat dimana kami berseragam “pasukan  lebah”. Karena begitulah team ini dinamakan. Sebuah kosakata yang terambil dari maskot rangkaian kegiatan yang kami jalankan ini. SALAM ISC.  Tidak hanya sebuah event penyambutan mahasiswa baru di Institut Pertanian Bogor. Tetapi sebuah ukhuwah yang terikat. Sebelumnya, hampir-hampir kami tidak mengetatahui siapa orang ini atau siapakah dia. Akhi dan Ukhti itu. Siapa Pria dengan tubuh kurus, tinggi, dengan gaya berjalan yang khas, pandangan yang selalu tertunduk, dan wajah terlihat sumringah. Dialah karibku, yang membuat suasana Pasukan lebah ini semakin hangat. Dan tulisan ini adalah salah satu dedikasi untukmu, kawan.

Adalah  event Open House, tradisi di kampus kami. Mempersyaratkan seluruh kelembagaan baik intra dan extra kampus untuk bersinergi. Membuat warna kesejukan dan kehangatan untuk menyambut adik-adik mahasiswa/i baru di kampus hijau ini. Barisan berderet-deret tenda yangg disekat-sekat itu memanjang dalam satu tempat. Taman rektorat, begitu tempat itu biasa dikenal. Menampilkan sekurangnya 60-70 stand—tenda yang bersekat itu seukuran 2x3 m—itu artinya terdiri dari 60-an kelembagaan kemahasiswaan. Mulai dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), sebuah unit untuk mengasah manajerial kepemimpinan dan kegaitan. Unit Kegiatan Kampus (UKM),yang menaungi setidaknya belasan organisasi olahraga prestasi (sepakbola, basket, tenis), beladiri (taekwondo, karate), hingga unit keilmiahan kampus dan pers kampus. Kemudian Himpunan Mahasiwa profesi atau bisa juga dikatakan himpunan mahasiswa jurusan/departemen, menampilkan warna khas dari disiplin ilmu yang dikonsentrasikan. Dan Lembaga Dakwah Kampus Sapaan lainnya adalah “anak masjid”, dan disinilah aku dan sekitar empat puluhan ‘pasukan lebah’ lainnya.

 Stand –stand tersebut tepat berada di depan gedung megah beratap biru, yang dapat menampung tidak kurang dari 3000 orang. Graha Widya Wisuda, adalah nama gedung tersebut. Gedung kebanggaan kami. Tempat pertama, untuk menyambut mahasiswa baru. Dan terakhir, untuk menyematkan ijazah dan tanda keharuan dalam prosesi sidang terbuka : Wisuda. Disini kami bertemu dan berpisah.

 Demikian tersusun apik sebuah event  yang terjadi dua kali dalam satu tahun itu. Dan berjarak tak kurang dari dua bulan. Untuk menyambut wajah baru itu yang terdaftar dalam seleksi masuk jalur PMDK/USMI dan SPMB/SNMPTN. Tidak sedikit  orangtua yang sesegukan melepas putra/i nya dan begitu sebaliknya. Sangat mengharukan mengingat hal itu. Pun demikian aku pernah merasakannya, kali pertama masuk di kampus ini, 2006 silam. Banyak pula yang masih sangat awam dengan kondisi kampus, amat berbeda dengan masa sekolah lalu. Maka, tujuan kami dan belasan organisasi lain, peserta dalam Open House. Adalah membantu mengenalkan dan menginformasikan kampus dan hiruk pikuk yang akan dijalani kelak. Mahasiswa/i baru itu, kami sebut sebagai angkatan 44. Karena usia kampus IPB, 2008 silam menginjak dies natalis ke-44, sejak berdiri mandiri sebagai kampus berbasis pertanian di negeri ini, 1963.

Melalui tulisan lincah nan kaya kosakata berima, Salim A. Fillah, “Saksikan Aku Seorang Muslim”, yang kala itu sedang ku baca. Masih dalam suasana open house. Saat terik berbinar-binar, hampir-hampir melelehkan semangat kami menyambut dengan keceriaan. Saat saat dimana kami harus berjam-jam meananti barisan angkatan 44 tersebut untuk berkeliling dalam carnaval penyambutan. Di perlihatkan kepadanya wajah kampus dengan beraneka. Saat itulah, sekali lagi aku terpukau dengan gagasan dari ikhwan yang satu itu. Mahasiswa statistik, FMIPA, satu angkatan denganku : Ginanjar Febrianto, namanya. Cukup “Gina, sapaanya.

selamat datang kami ucapkan, kepada sahabat empat-empat,  bersama kami membina diri, menjadi muslim sejati, ikat ukhuwah dalam tarbiyah, bersama SALAM ISC...”

Adalah senandung yang kami perdendangkan dengan gaya serampangan kocak nan penuh keceriaan untuk menyambut barisan angkatan 44 yang akan masuk pelataran taman rektorat ini. Dan Ginanjar adalah maskot kebanggaan kami. Semangatnya menyemangati kami ‘pasukan lebah’ dan semoga juga menyemangati peserta stand lain dan adik-adik angkatan 44.
Dalam tulisan salim A. Fillah tersebut : bukankah kita belum saling kenal dan baru kali ini bertatap muka? Tapi hati rasanya sudah akrab, dan lisan tak akan tahan untuk melempar senyum dan beruluk salam.

Begitulah kami menerjemahkan pertemuan di dalam stand tersebut sebagai panggilan dakwah dan keimanan. Ada hal yang harus terbagi, ilmu dan pancaran senyum. Sekali-kali tidak akan mengurangi rasa lelah dan wajah yang memerah atas pancaran mentari saat itu. Sajian ala kadarnya, snack ringan dan air teh es. Seperti kembali mengokohkan keakraban kami dalam  pertemuan sejenak tersebut. Betapa kami merindu hal-hal itu. Seperti digambarkan rasulullah, saat pertemuan Mujahidin dan Anshar. Saat tumpah ruah keimanan dan Akidah melebur : inilah ukhuwah.

Ini bukan hanya sekedar kakak kelas menyampaikan sekelumit informasi kampus ke adik-adiknya. Mereka bertutur tentang kali pertama datang ke Bogor. Kikuk dengan kawan sebelah saat registrasi awal. Tidak sedikit yang menambahkan, biaya yang dibebankan tidak sesuai dengan penghasilan orangtuanya. Kami bertutur tentang suasana kampus yang nyaman bukan muluk dalam perbincangan.  Karena memang kami merasakan demikian. Kami berdialog tentang mendapatkan beasiswa, hidup di asrama, prosedur peminjaman buku, nama jalan di sekitar kampus. dimana mendapatkan makanan murah-meriah, namun tetap bergizi. “Ini strategi, dek. Bukan karena biaya hidup di Bogor tinggi, tapi memang kiriman dari orangtua terkadang harus di sisihkan untuk beragam kegiatan lainnya”. Begitulah kami berseloroh, dijawab anggukan dan senyum simpul mereka. Oh, indahnya ukhuwah ini. Tak cukup waktu di dalam stand untuk berdialog lebih menikuk tajam. Kami menawarkan paket penyambutan lain. Di Masjid kampus, Al Hurriyah. Dalam tabligh akbar dan dialog mahasiswa berprestasi. Ahlan wa sahlan di SALAM ISC : Islamic Student Centre. Demikian spanduk besar membentang di atas stand kami. Stand LDK Masjid Al-hurriyah.
**
Ini soal afiliasi, partisipasi, dan kontribusi. Dalam Tarbiyah yang menyejarah itu. Begitulah bagian yang tepat dalam Saksikan Aku Seorang Muslim-Salim A. Fillah. Tentang pertemuan demi pertemuan yang dilakukan 5-6 bulan sebelumnya untuk menyusun rangkaian penyambutan SALAM ISC. Aku saat itu, ditempatkan  dalam divisi dana usaha. Sebuah amanah besar, karena 50-60 juta rupiah dana yang dibutuhkan merupakan tanggungjawab kami.

Fullus, demikian nama divisi danus itu disebut. Untuk memotivasi kami, sebuah jargon di cetuskan: begitu aba-aba “Fullus...” dijawab dengan “Fullus, kerja tulus, semangat terus, pasti surplus!” haha, ada-ada saja usulan rizka, kordinator akhwat, dimas si bos. Dan bersama 2 ikhwan dan 6 akhwat lainnya. mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Sebenarnya bukan sekedar membiayai rangakain kegiatan SALAM ISC. Tapi membersamai dalam kesuksesan kerja dakwah. Dan yang terpenting, kelak satu saat kerja-kerja yang kami lakukan adalah salah satu bentuk amalan yang akan menjadi saksi di hari akhir. Amin ya Rabb.

Takjub aku, sesaat datang untuk menghadiri syura-syura persiapan kegiatan tersebut. Ada saja di antara kami yang menyodorkan rupiah dalam bilangan ratusan ribu hingga juta. Fazlur yang menyodorkan satu juta rupiah, atas hasil kerjasama dengan salah satu perusahaan asuransi. Kemudian Mesil dalam jumlah yang sama, atas bagi hasil keuntungan berjualan dan atas donasi dari alumni. Inilah ke-MahaKuasaan- Allah, kegiatan yang sedianya membutuhkan enam sampai delapan juta rupiah kami tutupi dalam satu pekan. Subhanallah. Rupanya mereka bekerja dalam diam. Kami berkompetisi : fas tabiqul khairat.

Satu pagi, di hari Ahad. Kami membuat keputusan untuk membuat bazaar ala kadarnya. Di pusat keramaian Bogor di akhir pekan. Lapangan Sempur. Berbekal pakain bekas layak pakai yang kami kumpulkan dari sumbangan kakak kelas dan beberapa ikhwah lainnya sebagai infak.  Es teh, molen arab (yang subhanallah besarnya 2-3 lipat dari molem umumnya), dan tikar sebagai alas. Gelaran di buka lebih awal. Sebelum pukul enam kami sudah hadir. Memang demikian. Pasar kaget ini berlangsung untuk plesiran  di akhir pekan.

“es teh, es teh.. molen, molen...” aku dan oyok, salah satu  ikhwan yang juga panitia SALAM ISC, masih malu-malu harus meng-edar dengan nampan yang diisi dengan enam cup es teh. Kami membandrol dua ribu rupiah untuk molen arab. Dan, 2500 untuk es teh manis. Merupakan menu yang kami pikir tepat untuk sarapan pejalan kaki selepas joging di sekitar pelataran Sempur ini.

Sementara di lapak awal kami. Mei, Fitri, Mesil, dan Tika berjaga. Pakaian laik pakai itu di bandrol Rp 5000 – 25.000. Tidak sedikit tawar menawar beradu. Lantaran barang yang kami bawa, memang terlihat baik. Tidak kusam ataupun lusuh. Inilah strategi kawan. Kami telah menyetrika dan memberi wewangian seadanya. Toh, untung besar saat itu. Alhamdulillah

***
Satu pagi, di awal tahun 2010. Dua tahun selepas kebersamaan dalam kepanitiaan berkah itu, insya Allah.  Kami yang mulai memikirkan tugas akhir mandiri. Kami  yang terlelap, harus terbangun. Tersiar kabar. Ginanjar Febrianto, ikhwan yang masih bertubuh kurus dan wajah yang slalu terlihat sumringah. Karena tidak jarang candaan renyah mengalir begitu saja. Tersiar  Kabar pilu yang membuat hati gulana bukan main. Gina meninggal, karena kecelakaan kendaraan bermotor. Di kawasan Cibinong. Sesaat setelah bertolak pulang dari asrama putra TPB IPB menuju rumahnya di jakarta.

Semalam sebelumnya, aku masih bertemu dengan Gina, di warung Soto khas Surabaya. Masih dengan gaya khas “ ah, ente kemane aje, masa kagak tau kalo ane lebih ganteng dari Nobita. haha” lagi-lagi aku masih ingat senyum itu. Senyum renyah dan bersahabat. Kita pernah berbicang tentang ide membuat film dokumenter kehidupan asrama. Kita pernah bergabung mencipta gubahan lagu-lagu untuk di semarakkan di rangakaian penyambutan 44 itu.

Bahkan di malam terakhir pertemuanku dengannya. Ia masih mengingatkan untuk bertilawah “ jangan kurang dari satu juz, akhi. Atau paling enggak. Lima halaman lah sehari”. Pertemuan di warung soto itu menjadi akhir. Innalillahi wa inna lillahi raji’un.

Muslim sebagaimana Al-Quran menyebutkan. Seharusnya demikianlah sapaan yang disematkan sebagaimana lafadz aslinya. Dan menjadi muslim sejati adalah keharusan. Karena pilihannya hanya dua. Jalan kebaikan atau keburukan. Dan saksikan aku seorang muslim benar-benar menggugah. Setidaknya aku perlahan memahami –sekarang pun masih dan masih terus belajar memahami—nikmat islam, manisnya iman, indahnya ukhuwah, dalam bingkai tarbiyah.

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah pada Rabbmu dengan hati puas lagi diridhai, maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu dan masuklah kedalam JannahKu..” (QS. Al Fajr : 27-30)
***
Untuk Ginanjar, semoga Allah, membersamaimu kelak di SyurgaNya.
Untuk pasukan lebah lainnya. Kenangan yang indah, keluarga yang hangat, kebersamaan dan perjuangan yang tak lekang untuk dilupakan.


Kisah ini untuk diikutsertakan dalam lomba Kisah Menggugah Pro-U Media di 2010

Rabu, 01 Desember 2010

My December

this is my december 
this is my time of the year 
this is my december 
this is all so clear 

this is my december 
this is my snow covered home 
this is my december 
this is me alone 

and i 
just wish that i didnt feel 
like there was something i missed 
and i 
take back all the things i said 
to make you feel like that 
and i 
just wish that i didnt feel 
like there was something i missed 
and i 
take back all the things i said to you 

and i give it all away 
just to have somewhere to go to 
give it all away 
to have someone to come home to 

this is my december 
these are my snow covered dreams 
this is me pretending 
this is all i need 

and i 
just wish that i didnt feel 
like there was something i missed 
and i 
take back all the things i said 
to make you feel like that 
and i 
just wish that i didnt feel 
like there was something i missed 
and i 
take back all the things i said to you 

and i give it all away 
just to have somewhere to go to 
give it all away 
to have someone to come home to 

this is my december 
this is my time of the year 
this is my december 
this is all so clear 

and i give it all away 
just to have somewhere to go to 
give it all away 
to have someone to come home to


klik videonya disini