Hari ini sampai dua pekan kedepan adalah hari-hari tersibuk yang pernah kami jalani. Berjejalan mahasiswa/i itu didepan kami mengantri, menyodorkan berkas-berkas belasan halaman jumlahnya. Kami tahu, mereka sedang tergesa. Sehingga, kerja kami pun harus lebih cepat dan tepat dari biasanya. Jemari kami lincah beradu dengan berkas yang harus kita perbanyak lusinan jumlahnya. Menyusunnya kembali, merapihkan, dan menyatukannya. Kemudian datang lagi belasan berkas yang harus kami perbanyak. Lagi dan lagi.
Berkas-berkas itu sesekali kubaca. Meskipun tidak banyak istilah yang dapat ku tangkap. Tentang dendrologi, riset pasar, radiologi veteriner, perilaku konsumen, atau apalah namanya itu. Yang kami tahu, mulai hari ini adalah hari bersejarah bagi mereka. Ujian. Tentu saja kami bahagia, karena omset untuk perbanyakan berkas-berkas. Mulai dari soal tahun-tahun sebelumnya, modul kuliah, slide presentasi, hingga buku teks duaratus lima puluh dua halaman banyaknya. Ditambah penjilidan untuk tugas akhir katanya. Mulai meningkat drastis.
Kami merasa bangga berada di antara kalian. Berhasil masuk di kampus terbaik negeri ini. Dengan intelektualitas dan prestasi kalian, kami titipkan bangsa ini. Ah, aku mulai meracau lagi. Sementara sepanjang siang ini masih saja aku belum beristirahat. Sejenak untuk mengendurkan otot kaki yang mulai tegang karena berdiri terlalu lama dan jemari yang sudah mulai tidak leluasa. Tapi tekad kami adalah pelayanan terbaik. Karena kami tahu, ujian yang sedang kalian jalani adalah hal penting.
Empat tahun lalu, selepas tamat SMA dari dusun. Bapak sudah tidak bekerja lagi. Sudah terlalu lelah untuk hanya sekedar berjalan ke sawah tiap pagi. Sementara ibu, seharian harus megurusi tunggakan kredit orang kampung yang tak kunjung lunas meski jatuh tempo. Aku anak lelaki tertua dengan enam adik. Pergi ke ibukota bukan pilihan saat itu. Tetapi keadaan yang memaksa. Sejumput pengalaman pun tak ada. Modal berkas ijazah SMA dan dua puluh tiga ribu rupiah. Sesegukan menyaksikan Bapak dan ibu melepas putranya merantau.
Janji manis pak Imam, paman dari ibu, 'Ibukota itu sumber rezeki', seperti jauh dari harap. Seperti kebanyakan lainnya, pengalaman yang dimintakan. Sementara ijazah SMA sudah tak layak lagi di jaman sekarang. Menawarkan diri di rumah makan sederhana. Untuk bantu-bantu cuci piring, dengan harap makan siang, itu saja pintaku. Sementara uang di saku sudah tak ada. Sebenarnya ingin sekali seperti wak hamid, anak satu-satunya di kampunngku yang lulus UMPTN. Kuliah. Menuntut Ilmu. Tidak usah memikirkan ketidakjelasan status sebagai "pengangguran". Karena kata sandang baru telah melekat: Mahasiswa.
Nilai ujian akhir SMA-ku bahkan masuk sepuluh terbaik di kabupaten. Tetapi apatah mau dikata. Ibu guru Aisyah, guru biologi sekaligus walikelasku. Sudah meminta untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Dengan bijak bapak, memohon dengan sangat untuk tidak merepotkan ibu Aisyah, jikalau aku harus ber-kuliah. Bukan karena tiada biaya sebagai alasan utama. Karena ibu Aisyah sudah terlalu baik melunasi SPP selama di SMA.
Sejarah adalah repetisi pengalaman-pengalaman. Kini, biarlah aku tetap disini. Sambil terus membolak-balikann berkas sebagai seorang juru fotokopi. Aku akan terus tersenyum dengan tulus. Bahwa, aku akan bisa seperti kalian, mahasiswa/i yang masih antre, berjejalan didepan kios kami. Gelar sarjana tidaklah utama. tetapi tentang usaha membangun negeri adalah keharusan.
selamat ujian kawan.
chuy, tumben tulisan lo bener..
BalasHapuseh, emang gue bener terus kali. sori-sori-sori jek..
BalasHapuseh dul, lo kalo masih punya utang ke tukang fotokopian segera bayar. kasian noh.
BalasHapuslo kalee.. gw masih inget bon fotokopian lo.. "febby utang 15rb" haha
BalasHapushaah..utang buku apaan? nih dah gw bayar. biar tenaaang dialam baka nanti
BalasHapus