Hari ini sabtu, 8 Oktober 2011. Saat aku memulai menulis jam di ponsel ku menunjuk 06.13 atau 11.13 wib. Perbedaan waktu Jakarta – Berlin 5 jam, (Berlin GMT+2). Hari ini adalah adalah hari ke-3 setiba kami dari perjalanan panjang pesawat dari jakarta menuju berlin pada 6 Oktober kemarin. Dari balik jendela kamar apartemen yang menghadap ke sisi jalan, gelap menyelimut dengan balutan suhu udara sekitar 9 – 13 derajat celcius. Oh iya, waktu subuh disini—hari ini—pukul 05.25, jadi wajar saja jika masih gelap menyelimut. Tapi tetap saja jam biologis tubuh tidak bisa dimanipulasi : laper. J Bawaan dari rumah, bengbeng hazelnut dan sukro dua kelinci habis sekali lahap.
Aparthementhaus 251
Aku ingin bercerita tentang bangunan bertingkat sepuluh ini yang akan menjadi tempat tinggal untuk 3 pekan pertama di Berlin ini. Apartemen yang saya tempati berada di lantai 5. Saya dan dua orang kawan : mas Dana (Pridana Nasution) dan mas Radit (Raditya Sunu ). Mas Dana adalah orang semarang asli, jangan salah yaa kata ‘Nasution’ di belakang namanya tidak menunjukkan identitas apapun soal marga batak atau sumatera utara J. Mungkin saja ayah-ibunya seneng betul dengan tokoh Jenderal bintang lima : A.H. Nasution. Tapi yasudahlah oleh si empunya nama, sudah menjelaskan susah payah di awal pertemuan di Jakarta lalu. Dan mas Radit ini aseli Djogja.
Mas Dana ini sudah berkeluarga alias sudah memiliki istri, dan kabarnya sedang mengandung usia 2-3 minggu. Oia, terdapat 4 dari 30 peserta pelatihan yang sudah menikah termasuk mas Dana, tiga lainnya: mas Eko (Eko Novianto), mas Dedi (Dedi Setiawan), dan mas Fikri (Fikri Amrullah Riva’i). mas Eko baru saja menikah 10 Juli 2011 lalu. mas Fikri dan mas Dedi pada 4 september 2011 lalu (berbarengan tapi tidak satu tempat, ya iyalaah). Kenapa saya menyebutkan siapa saja yang sudah menikah. Ini penting sodara-sodara. Karena terjadi kegalauan luar biasa bagi peserta lain yang masih jomblo (baca; belum merit) dan bagi yang 4 orang itu juga. Galau bagi para jomblowan/wati karena mupeng saat liat harubiru istri melepas sang suami di bandara Soetta kemarin. Dan Galau sekarang bagi sang suami karena kesulitan akses internet untuk ‘say hello, im okay in Berlin’.
Begitulah apartemen kami tidak dilengkapi akses internet berupa wi-fi atau LAN. Konon, karena kami hanya menyewa satu b ulan. Karena umumnya untuk dapat akses berlangganan inet di dalam apartemen minimal menempati tiga bulan L. akses telepon? Bisa saja sih, tapi perlu dicatat saat mas Dana menelepon sang istri di Semarang sana. Biaya panggilan satu menit mencapai 60 ribu rupiah atau sekitar 5 euro. Untuk sms bisa 4-9 ribu sekali kirim. Panggilan dan sms ini masih dengan operator Indonesia : Indosat/telkomsel dan dikenakan biaya roaming internasional, termasuk saat menerima panggilan dari Tanah Air sana.
Saya menempati kamar 20881, lantai lima. Untuk mengaksesnya terdapat lift dan tangga. Untuk lift jangan harap dapat menjumpai lantai kami sekali langkah. Karena tombol yang tersedia hanya lantai E (lantai bawah), 3, 6, dan 9. Sehingga untuk ke lantai 5 dengan lift ini, silahkan tekan tombol 6 lalu keluar dan turun satu lantai dengan tangga menuju kamar kami. Begitu kamar dibuka, yang akan ditemui kali pertama adalah pintu besar tepat di depan pintu masuk apartemen, yang ternyata adalah pintu toilet/kamar mandi. Kemudian sebuah papan besar capstok untuk menggantunkan mantel/ jaket dan meja kecil di sisi kiri pintu masuk untuk menaruh sepatu/selop. Dan ruangan dapur dan kitchen set yang menawan disebelah kiri toilet. Seluruh ruangan dilapis karpet memberi kesan hangat.
Masuk ke arah kiri ada kamar besar yang sekarang ditempati mas Dana (sebenarnya kamar ini untuk dua orang, karena tersedia dua bed). Kamar ini menghadap jalan besar didepan apartemen dan terdapat balkon setelah daun jendala dibuka dengan sempurna. Sebelah kanan dari pintu masuk terdapat kamar mungil (inilah kamar ku). Kemudian disebelah ruang kamar ku terdapat ruang tengah untuk menonton TV dan atau ruang baca. Kemudian disisi kiri dari ruang tengah itu terdapat kamar skala menengah yang ditempati mas Radit. Jadi diurutkan dari terbesar – mungil adalah : kamar mas Dana, mas Radit, dan saya.
Suasana kamarnya sederhana terdapat sebuah alamari besar dua pintu seinggi kira-kira 210 cm. Pintu pertama berisi empat sekat yang dipasang horisontal membentuk lima ruang yang bisa diisi untuk pakaian atau perlengkapan yang dibawa. Kemudian pintu kedua untuk pakain atau jaket yang menggantung. Perlengkapan lain yang ada di kamar adalah sofa yang dapat disesuaikan menjadi bed (lihat gambar). Pada sisi kanan setelah pintu masuk kamar terdapat meja yang bisa ditempati untuk buku-buku dan tas. Jendela besar di sisi depan kamar menghadap jalan masuk ke apartemen ini. Dan ada lampu kecil untuk malam dan sebuah penghangat ruangan yang dapat disetel dengan kenop putar berangka 1 sd 9 untuk menyesuaikannya. Aku tergagum-gagum dengan mekanisme membuka jendela apartemen ini. Sebuah mekanisme yang mungkin tidak ada di Indonesia sana. Jadi, posisi kunci pemutar berupa pemutar seperti keran pembuka yang dapat dibuka (seperti gambar)
Toilet disini membuat aku uring-uringan sendiri.Lantai toilet tidak tersedia saluran pembuangan air, rupanya toilet disini didesain untuk kering. Alhasil jika basah jadi becek-becekan, namun sudah disediakan sebuah sekop untuk mngantisipasinya. Tapi tetep aja rempong. Sebuah toilet duduk, wastafel dan jacuzzi (bathtub) dengan shower dan masing-masing memiliki keran air dingin panas yang dapat disesuaikan. Antara bathtub dengan toilet duduk dan wastafel terdapat pembatas dari gorden anti air untuk mengantisipasi air berceceran di lantai toilet yang didesain tetap kering itu. Alhasil jka ingin mandi langkah terbaik adalah berendam di bathtub tersebut dan atau ber-shower duduk.
Dapur dengan kitchen set yang menawan nan fungsional ini membuat aku kesengsem bergaya modern tapi terlihat sederhana. Sebuah kompor besar empat api dan pemanggang menyatu dibadan kompor tersebut. Kemudian almari yang disusun untuk menyimpan berbagai keperluan dibagian bawah dan atas. Keran air untuk mencuci piring juga dipasang dua (air dingin dan hangat). Oia, standar air ledeng/pipa disini sudah bisa digunakan untuk minum (tidak perlu dimasak lagi). Bahkan saya, untuk menghemat waktu kemarin menyeduh kopi dengan keran yang mengalirkan air hangat, yang ternyata tidak melarutkan kopi (kurang panas). Walaupun ada kompor tapi tidak semudah di tanah air. Untuk menyalakkannya tinggal putar dan jeklek, api pun muncul. Disini diperlukan sebuah pematik tersendiri. sementara kenop tetap diputar untuk mengeluarkan gas sambil pematikak didekatkan diantarnya. Begitulah kondisi apatmen kami untuk kami tinggali hingga akhir oktober nanti. Auf WiederhÖren!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih sudah berkunjung ke ariawiyana.co.cc