TKI = Tenaga Kerja (asal) Indonesia = pahlawan devisa bagi negeri ini. Selalu saja ada hal “perih” bagi nasib pahlawan tersebut. Yang terakhir diberitakan akhir-akhir ini adalah saudara/i kita di negeri Arab saudi sana. Menggelandang di bawah jembatan dengan beragam alasan tentunya. Seperti hal penting lain, tentu saja ada hal yang tidak penting yang kurang dipentingkan. Untuk itulah saya menuliskannya. Bukan untuk siapa-siapa sebenernya, tetapi karena hal itu akan menjadi penting suatu saat. Kembali kepada nasih TKI disana dihubungkan dengan hal tidak penting yang akan dianggap penting itu adalah. Tentang dokumen negara yang menjadi Identitas TKI tersebut disana. Paspor dan bagaimana mengurusnya.
Sebenarnya bukan untuk para TKI saja paspor itu digunakan. Tapi lantaran orang kaya dinegeri sudah familiar dengan tata cara pengurusan dokumen ini. Maka, saya tidak perlu menceritakannnya lagi. Calon TKI yang berasal dari beragam daerah di tanah air ini. Tentu saja tidak tahu-menahu tentang pengurusan berkas-berkas yang melekat untuk menjadi seorang TKI. Sebenarnya istilah TKI ini saya pakai sebagai alasan saja. Ketika seorang sahabat menanyakan perihal niatan saya untuk mengurus paspor. “kali aja jadi TKI, jadi udah punya paspor buat berangkat”. (mudah-mudahan sahabat saya tsb percaya kalo saya emang ingin jadi ‘TKI’) he-he.
Saya ingin berceloteh tentang pengalaman pengurusan paspor untuk kali pertamanya. Tentu dengan minimnya pengetahuan. Dan memang benar tidak akan jauh berbeda dengan pengurusan dokumen lain yang notabene diurus oleh instansi pemerintahan. (saya pernah punya pengalaman pengurusan SIM-C. Silakan saja diingat-ingat bagi yang sudah punya SIM. Atau membayangkan prosesnya bagi yang belum).
Kamis (10/2/2011) merupakan kali pertama saya menjejakkan kaki di delam kantor imigrasi kelas II kota Bogor. terletak di Jl. Jend A. Yani no.65 (tidak jauh dari plaza jambu 2). Semalam sebelumnya sudah diingatkan oleh kolega saya (mas nunu) untuk berangkat pagi-pagi-sekali biar jam 8 sudah sampai sana. Ternyata ketibaan saya pk. 8.35. setelah mengisi berkas yang disediakan (membeli map kuning seharga 15.000 rupiah mencakup formulir isian dan berkas pernyataan bermaterai ).
Sebelumnya ada petugas yang membisikkan “mau saya bantu?” saya geleng saja sambil tersenyum lalu (tentu kalian tahu maksudnya). Saya mendapati nomor urut 75. Itu artinya saya harus menunggu 2-3 jam lamanya. Setelah mencermati waktu tiap orang untuk mendaftar hingga 10 menit. Hikmahnya, saya membaca hampir semua koran yang tersedia : radar bogor, pakuan raya, kompas, jurnal bogor. Semangkuk mie ayam baso. Plus menghabiskan belasan SMS lebih selama masa tunggu tersebut. Pukul 10.50 tiba juga nomor urut 75 dipanggil. Mencermati setiap berkas yang sudah saya tulis dengan berkas asli yang disyaratkan : KTP, Ijazah, Akte, KK, dan KTM. Sebenarnya KTM bukan syarat, namun saya mencantumkan alasan kepergiaan masih berhubungan dengan institut yang sudah lebih dari 4 tahun saya kuliah disana. Selesai hari pertama. Tertulis tanda bukti untuk datang kembali setalah 4 hari kerja.
Rabu (16/2/2011) seperti yang dituliskan tanda bukti yang dibubuhkan keterangan pada hari pertama tersebut. Maka agenda, pada hari kedua ini adalah pembayaran, pemotretan, dan wawancara.—maaf sebenarnya bukan pemotretan, tapi cukup potret, karena memang dilakukan satu jepretan saja. Jangan dikiran saya ikut-ikutan ngartis seperti yang ada di Tivi-tivi. He-he-he. Ceritanya hampir sama seperti diawal. Karena sudah tahu akan menuggu lama. Saya sudah berbekal buku bacaan yang lumayan tebal untuk dibawa-bawa. Iya, buku itulah sebenarnya yang mengilhami atau lebih tepatnya mengisnpirasi saya untuk menulis postingan dengan gaya bercerita seperti ini. Wisnu Nugroho-lah penyebabnya, wartawan Kompas yang ngeBlog di Kompasiana, yang akhirnya di bukukan “tulisan-tidak-pentingnya” menjadi buku : tetralogi sisi lain SBY. Dan, judul yang saya baca adalah Pak Beye dan Politiknya. Ada yang belum pernah baca? Saya sarankan untuk segera membacanya. Terutama, bagi Anda mahasiswa komunikasi politik yang diajar Efendi Ghazali. Karena sudah diwajibkan. He-he.
Kembali pada cerita menunggu dihari pengurusan paspor di hari ini (dari 3 bagian prosedur yang disyaratkan : pendaftaran-interview-dan pengambilan paspor). Oia, saya mendapati nomor 397 untuk datang ke loket pembayaran dan nomor 697 untuk ke loket pengambilan foto dan interview. Itu artinya saya harus menunggu antrean sebanyak 89. Karena begitu maju untuk mengambil nomor undian sudah berjalan pada nomor urut 301 dan 602. Akan lebih lamaaa dari proses hari pertama, begitu batin saya menduga. Dan benar saja. Baru pukul 11.20 nomor urut 397 dipanggil untuk maju ke loket 2. Melakukan pembayaran Rp 255,000 (begitulah harga yang tertulis besar-besar didepan loket tersebut. Dengar-dengar pada saat menunggu tadi, bagi yang melalui “jalur express” bisa dikenakan biaya 2-3 kali lipatnya. Silakan hitung sendiri). tuntas diloket dua saya diminta menunggu untuk pengambilan foto dan wawancara di loket tiga. Nomor urut loket tiga masih pada bilangan 660-an.
Ternyata di kantor ini sangat-sangat menghargai waktu untuk urusan waktu istirahat. Pukul 12 kurang 15 meni. Sebuah pelantang mengumumkan bahwa loket ditutup hingga pukul 13.00. dan loket 3 yang akan saya masuki dalam tahap wawancara. Menunjukkan pada nomor urut 686 sebelum penutupan. Hitung-hitungan jari 11 orang lagi-lah. jam 13.30 mungkin selesai.
Semangkuk mie ayam baso didepan kantor imigrasi kels II kota bogor menjadi menu makan siang tadi. Kemudian balik duduk ditempat tunggu hingga masuk waktu dzuhur. Bertemu dengan sahabat yang saya singgung diatas. Yang saya tanyakan sebelumnya soal tata cara pengurusan paspor. (rupanya dia sudah masuk tahap ketiga, alias menunggu untuk mengambil -dokumen negara yang menjadi identitas internasional- yang sudah jadi/legal).
Kembali ke ruang tunggu selepas istirahat. pukul 13.00 loket kembali dibuka dengan pelantang otomotis yang menyebutkan nomor urutan pada masing-masing loket. Sambil terus mengulum senyum atas buku yang ditulis wisnu nugroho tersebut. Tiba-tiba saja, serombongan (sekitar 5-10 orang, saya kurang tahu persis jumlhanya). Orang berseragam coklas khas PNS lengkap dengan tanda nama di dada kanan. Masuk satu-persatu menyesaki ruang interview (loket 3). Rupanya bukan saya saja yang membatin. Ibu-ibu dibelakang saya juga tak mau kalah berspekulasi. Dan ditutup dengan ujuran lainnya ‘sabaaaar-sabaaar’. Inilah potret pengurusan dokumen negera yang saya ingin singgung sebagaimana dalam pengurusan SIM diatas. Ada uang, urusan lancaaaar. Tidak mau ambil pusing saya lancutkan saja bacaan saya. Sementara angka urutan tertahan di di 691 selama satu jam lamanya. Semakin bertambah saja waktu untuk menunggu. Kemudian perlahan-lahan mulai naik dalam urutan 5-5 : 691,692,693,694,695,... saya membatin lagi. Kok lama sekali yah. Urutan saya yang tinggal dua angka setelahnya. Hampir 20 menitan. Bilangan itu tertahan disana diam. Menghadapi jarum detik di sisi tembok lain yang terus berputar.
Baru pukul 14.10 saya masuk jugaa dalam loket tiga itu. Berdiri. Karena kursi diperuntukkan bagi yang sedang di wawancara dan yang akan dijepret wajahnya dengan kamrera digital Canon 10 mega pixel. Seperti yang saya lihat dari tempat berdiri. Tak dinyana, masih ada saja, orang “istimewa” itu. Didahulukan tanpa pernah tahu. Sebenarnya urutan berapakah gerangan pria itu. Pria dengan pakain safari bak pejabat teras. Atau memang dia seorang pejabat yah? Yang pasti ada satu petugas yang terlihat sangat “santun” untuk memintanya duduk dan mempersilakan. “mohon izin pak. Silakan duduk didepan kamera. Untuk pemotretan” atau “mohon izin pak. Silakan dilakukan pengambilan sidik jari” sambil jempol kanan menunjuk alat semacam sensor pendeteksi sidik jari ditangan itu. Santun sekali perlakuan ke orangtua itu. Siapakah gerangan pria dengan nama Tommy H. Bakrie, saya menduga ada hubunganya dengan Bakrie yang terkenal itukah (bang ical)? Saya hanya melihat namanya tersemat di dada kanannya.
Suasana ruang tunggu kantor imigrasi Bogor |
Tiba giliran saya. Jepretan kamera-pengambilan sidik jari, dilakukan di satu bangku, tidak kurang dari 5 menit. Kemudian tunggu hingga dipanggil. Dan duduk untuk di-interview. Sebenarnya adalah proses pengambilan tanda tangan untuk dibubuhkann di map kuning di awal registrasi, di berkas-berkas yang telah disiapkan, di form yang telah di-inputkan dari sistem komputer, dan di paspor itu sendiri. karena nyaris saya hanya mengangguk dan mengiyakan setiap pertanyaan yang dilontarkan. Nama jelas. Tempa-tanggal lahir. Nama orangtua. Kota asal. Provinsi. Nomor telepon. Alasan keberangkatan keluar negeri. Itu saja. Tidak lebih dari 8 menit. Kemudian diberitahukannya oleh petugas tersebut. Tanggal pengambilan paspor 22 februari 2011 pukul 1 siang. Total waktu yang dihabiskan di loket tiga hanya 15 menit kurang untuk waktu tunggu hingga 5 jam atau 300 menit. Hanya Sebuah perbandingan. He-he-he.
Selamat menjadi TKI!
Salam
heh, aria iseng, kamu mau kemana?? make buat paspor segala?
BalasHapusmau ngegembel dimana ya?
BalasHapushehehe
Yah keduluan deh jadi TKI nya...
BalasHapussy juga mau jadi TKI tapi u/ yg wanitanya mas. Lagi ngurus juga. hehehe :D